Minggu, 01 November 2015

“SUSI PUDJIASTUTI DAN CITRA PEREMPUAN PEMIMPIN DI INDONESIA” Suatu Sumbangan Derrida Terhadap Masa Depan Kepemimpinan di Indonesia


I.     Pendahuluan: “Ada Apa dengan Menteri Susi?”
Siapa yang tidak mengenal sosok perempuan bernama Susi Pudjiastuti? Seorang perempuan yang sontak menjadi buah bibir dan mengundang kontroversial ketika resmi diangkat menjadi salah satu pembantu presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019. Susi dipercayai oleh Jokowi untuk memimpin salah satu kementerian strategis yang bersangkutpaut dengan sumber daya alam yang sangat kaya di negara Indonesia ini yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Susi adalah satu dari 34 orang menteri dan satu dari 8 orang menteri perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi. Hal ini memecahkan rekor menteri perempuan terbanyak dari periode sebelum-sebelumnya semenjak negara Indonesia ini berdiri[1]. Pertanyaan mengemuka kemudian apakah yang menjadikan Susi sedemikian kontroversial dimata masyarakat?
“Menteri Susi Pudjiastuti Perokok, Bertato & Tak Lulus SMU”.[2]
Demikian headline news beberapa media di Indonesia beberapa hari setelah ia diangkat menjadi menteri pada tanggal 26 Oktober 2014 silam. Sontak saja masyarakat terbelah menjadi dua kubu yaitu pro dan kontra terhadap kehadiran Susi. Ada yang terang-terangan menolak kehadirannya dan adapula yang mendukungnya. Akan tetapi yang banyak diulas di media justru pandangan negatif yang bahkan meragukan kepemimpinannya. Apakah ada yang salah dengan Susi? Menyoal apa yang menjadi kontroversial menurut masyarakat itu maka beberapa hal bisa disebutkan disini:
·         Tidak Lulus SMU (drop out)
Susi mungkin satu-satunya menteri yang hanya tamat SMP. Ia sempat mengenyam pendidikan di bangku SMU tetapi kemudian berhenti. Pada waktu itu ia bersekolah di SMUN 1Yogyakarta. Berita yang beredar di masyarakat bahwa ia diberhentikan alias drop out karena aktif dalam gerakan golput. Asumsi yang muncul kemudian adalah bahwa Susi termasuk anak pemberontak ketika bersekolah. Benarkah demikian? Jabatan seorang menteri memang dinilai sangat prestisius, sehingga dibutuhkan seseorang yang ahli dan memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Disinilah letak kontroversinya Susi karena jika ditilik secara jenjang studi didapati ia hanya tamat SMP. Asumsi yang bermunculan kemudian ialah bagaimana mungkin ia memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi seorang menteri yang membawahi ribuan pegawai negeri sipil dan diantaranya ada yang bergelar magister? Seorang guru besar salah satu universitas di Makassar bahkan mencemooh pengangkatan Susi sebagai menteri oleh Jokowi yang dianggap menghina dunia pendidikan dan profesionalisme karena Susi cuma tamat SMP. Kita mungkin juga masih ingat ketika tokoh sebesar Amien Rais menantang debat terbuka dengan Megawati Soekarnoputri yang dinilainya tidak pantas menjadi presiden karena cuma tamat SMU. Tingkat pendidikan masih menjadi syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin di Indonesia.
·         Perokok
Sesaat setelah diumumkan sebagai menteri Minggu sore, 26 Oktober 2014 yang lalu, Susi menepi ke salah satu sudut halaman belakang istana merdeka[3]. Disana ia ingin melepas lelahnya. Ia bersimpuh melepaskan sepatu haknya dan merokok. Momen itulah yang ditangkap dan diabadikan ramai-ramai oleh awak media. Sebuah pemandangan yang dianggap langka dan tidak pantas dilakukan oleh seorang menteri. Sejak saat itu media terus menguliti kehidupan pribadinya termasuk kebiasaannya merokok. Pantaskah seorang pejabat publik merokok? Demikian komentar masyarakat bahkan anak-anak yang turut mempertanyakan hal tersebut, apalagi ia seorang perempuan dan ibu. Susi dikecam publik karena kebiasaannya ini.
·         Bertato
Pada sebuah foto di media sosial memperlihatkan Susi yang sedang berpidato. Apa yang menarik dari foto itu adalah tanda anak panah yang menunjuk tepat terarah ke bagian kaki sebelah kanan Susi dengan keterangan tato Ibu Menteri. Tato masih dianggap sebagai hal yang tabu bahkan terlarang oleh masyarakat sehingga orang yang bertato diasumsikan lekat dengan kejahatan, premanisme dan kekerasan lainnya. Pendek kata terlanjur tertanam kuat dalam pikiran dan ingatan masyarakat bahwa tato itu merusak tubuh sebagai ciptaan Tuhan dan mereka yang mentato tubuhnya digeneralisasi sebagai orang berdosa dan jahat. Masih segar dalam ingatan ketika media ramai-ramai memberitakan seorang mantan presenter media televisi terkenal bernama Chantal Dela Concheta yang memiliki tato persis seperti Ibu Susi di kaki sebelah kanannya. Media menyoroti bagian tubuh Chantal yang bertato itu sembari terperangah bagaimana mungkin seorang presenter cantik dan pintar seperti Chantal memiliki tato?
·         Seorang single parent dan menikah sebanyak 2 kali lalu bercerai
“Saya punya anak 3 dan cucu 1. Saya menikah 2 kali dan sekarang single parent,” ucap Susi lantang ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa, 28 Oktober 2014[4]. Seorang pejabat publik yang bercerai memang selalu menjadi sorotan apalagi Susi yang dituduh poliandri. Seorang pejabat publik yang datang dari keluarga utuh, memiliki suami/istri satu dan tidak bercerai merupakan konsep citra ideal bagi seorang pemimpin yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga ketika Susi muncul sebagai seorang ibu single parent, bercerai dari dua suami pula maka menjadi kontroversial karena dipandang melawan konsep citra baku pejabat publik tersebut. Teladan apa yang dapat dicontoh dari seseorang yang menikah sampai dua kali dan bercerai pula itu? Demikian kiranya pandangan negatif yang bermunculan manakala merespon situasi pernikahan menteri Susi. Kita tentu masih ingat bagaimana Prabowo pada waktu pemilu presiden yang lalu dicemooh karena tidak memiliki pendamping karena bercerai. Lalu seolah-olah diisukan rujuk dengan mantan istri untuk menampik isu miring tersebut.
·         Bersuamikan warga negara asing
Suami kedua dan ketiga Susi adalah seorang pria berkewarganegaraan asing. Dari keterangan Daniel Kaiser (suami kedua) yang berkebangsaan Swiss, dia menikah dengan Susi pada tahun 1992. Usia pernikahannya tidak lama karena keduanya memutuskan berpisah pada tahun 1999. Meskipun saat ini Daniel menetap di Swiss namun dia masih berkomunikasi dengan Susi. Ketika Susi dilantik menjadi menteri, Daniel pun terbang dari Swiss khusus datang untuk memberikan ucapan selamat kepada mantan istrinya itu. Masyarakat mempertanyakan hal ini dalam kaitannya dengan rasa nasionalisme Susi. Susi pernah memilih menikah dengan pria asing itu berarti ia punya ikatan dengan orang asing. Sesuatu yang sulit diterima secara umum apalagi ia seorang pejabat publik yang harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat kecil dan terpinggirkan. Ideologi pribumi dan non pribumi memang masih berakar kuat. Tentu kita masih ingat dengan jelas tentang kampanye hitam yang dilakukan oleh media Obor Rakyat terhadap Jokowi menjelang pemilu Mei 2014 yang lalu. Jokowi dikatakan sebagai warga keturunan asing Tiongkok dari Singapura, komunis dan beragama Katolik.



·         Penampilan yang nyentrik dan gaya bicara yang ceplas ceplos
Sebuah foto beredar di media sosial ketika Susi mengadakan kunjungan kerja di Kalimantan Utara pada 30 November 2014 yang lalu. Pada foto itu Susi mengendarai sebuah motor Honda (Megapro) yang dianggap sebagai motor laki-laki dengan memakai celana panjang dan sandal jepit hitam. “Ibu menteri Susi blusukan mengendarai motor laki”[5], begitu bunyi tajuk pemberitaan media-media. Penampilan seperti inilah yang dianggap nyentrik selain kebiasaannya berbicara ceplas-ceplos, to the point dan apa adanya yang tidak begitu banyak berubah meski sudah menjadi menteri. Tidak hanya itu saja, selain menyoroti gaya berbusana Susi yang lari dari kesan feminitas seorang menteri perempuan, media juga menyoroti warna rambutnya yang dicat coklat terang dan bukan hitam sebagai warna asli.
Demikianlah sekilas ulasan mengapa Susi menjadi sedemikian kontroversial di mata masyarakat Indonesia. Seorang pejabat publik yang tidak lulus SMU, bertato dan merokok. Hal yang tidak lazim dan melawan kriteria citra pemimpin di Indonesia. Oleh karena itu maka fenomena Susi sebagai menteri perempuan menjadi ketertarikan penulis untuk mendalaminya memakai teori dekonstruksi Derrida sebagai upaya membongkar citra ideal kepemimpinan Indonesia sekaligus membangun citra baru kepemimpinan di Indonesia yang selanjutnya akan dibahas pada bagian II dan III.
II. Teori Derrida dan Fenomena menteri Susi
II.1. Teori dekonstruksi Derrida
Teori dekonstruksi dipakai disini terhadap fenomena menteri Susi yang penulis pandang sebagai narasi teks kepemimpinan yang berbeda dari konsep kepemimpinan seperti lazimnya dianut sebagian besar masyarakat kita dewasa ini. Teori dekonstruksi dicetuskan oleh seorang filsuf dan ilmuwan terkenal bernama Jaques Derrida[6]. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil pada 15 Juli 1930 dan wafat pada Sabtu, 09 Oktober 2004 di Paris, Prancis. Ia lahir dari keluarga keturunan Yahudi dan seorang diaspora yang lahir di Aljazair. Hidup di negeri poskolonial apalagi negara yang dilanda perang seperti Aljazair menjadi berkah terselubung baginya karena ia dapat melihat bagaimana tangan-tangan kekuasaan kolonial mencengkeram Dunia Ketiga. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis untuk bersekolah dan kembali ke Aljazair pada tahun 1957 untuk menunaikan wajib militernya selama dua tahun dengan mengajar bahasa Prancis dan Inggris kepada anak-anak tentara disana. Sejak 1952, Derrida resmi belajar di Ecole Normal Superiuere (ENS) sebuah sekolah elit yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althuser dan sejumlah filsuf terdepan Prancis. Setelah resmi sarjana, Derrida mengajar di Husserl Archive, tahun 1960 mengajar di Universitas Sorbonne dan kemudian di ENS. Tahun 1966 ia menyampaikan ceramah legendaris di Universitas John Hopkins, bertajuk: “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences”. Setelah itulah Derrida sibuk meladeni panggilan dimana setiap tahun ia menjadi professor tamu di sejumlah universitas terbuka di Amerika Serikat. Pada tahun 1980, ia mempertahankan tesis doktoralnya berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations”. Tahun 1986 ia diangkat menjadi guru besar humaniora di universitas California, Irvine. Disinilah tercatat satu-satunya universitas yang menyimpan karya terlengkap Derrida termasuk yang belum dipublikasikan. Sejak 1986 ia berturut-turut menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari Universitas Cambridge, dll. Terakhir menerima Anugerah Adorno sebuah penghargaan presitius di Jerman pada tahun 2001. Namun sejak didiagnosa mengidap kanker hati maka praktis Derrida mengurangi jadwal acaranya sampai ia wafat tahun 2004.
Derrida terkenal dengan penolakkannya terhadap apa yang ia sebut metafisika kehadiran[7]. Seluruh tradisi pemikiran Barat merupakan pertarungan antara mitos dan logos dalam metafisika kehadiran. Penolakkan Derrida ini bukan saja meniggalkan modernitas tetapi juga membunuh mitos dan logos. Pupularitas Derrida tidak bisa dilepaskan dari teori dekonstruksinya yang masih sulit dipahami bahkan menjadi perdebatan dikalangan akademisi. Namun demikian penulis berupaya sedemikian rupa untuk memakai teori ini dalam membedah fenomena menteri Susi dalam narasi/teks kepemimpinan Indonesia. Lebih lanjut dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Dekonstruksi bersifat antiteori atau antimetode karena yang menjadi anasir didalamnya adalah permainan (play) dan parodi. Pada titik inilah, narasi fenomena menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU akan diletakkan.
Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk strategi pembongkaran makna terhadap teks. Proses pembacaan dekonstruksi terhadap fenomena sosial tidak memiliki pengandaian, sehingga tidak ada proses makna yang ditangkap seutuhnya. Derrida mempunyai ciri khas tersendiri dalam mengartikan dekonstruksi[8]. Pertama, dekonstruksi bertujuan untuk memahami sebuah teks, dimana bertolak dari makna asal teks itu sendiri. Kedua, pembacaan terhadap teks guna melawan dominasi petanda yang mengikat teks itu sendiri. Kedua ciri tersebut memperlihatkan suatu fenomena memiliki maknanya sendiri-sendiri berdasarkan interpretasi oleh masyarakat atau pelakunya, karena makna tersebut mengalami penundaan dan pembongkaran makna terhadap struktur yang ada. Lebih lanjut Fayyadl mengatakan bahwa istilah “de-konstruksi” lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisa” yang berarti: ‘mengurai’, ‘melepaskan’, dan ‘membuka’. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Selanjutnya, dalam sumber yang sama ditegaskan bahwa dekonstruksi Derrida merupakan serangan langsung terhadap gaya berpikir logosentrisme yang biasa dijumpai dalam teks-teks filsafat. Dalam teori kontemporer sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi memang melakukan pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal maksimalnya. Dalam catatan yang lain menyebutkan dekonstruksi diartikan sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Susi termasuk kelompok yang bukan saja diabaikan tetapi juga tidak diakui atau ditolak kehadirannya akibat mitos kepemimpinan ideal yang dianut masyarakat.
Asumsi Derrida dalam melakukan dekonstruksi teks salah satunya dengan
menggunakan konsep différance yang merupakan salah satu strategi pembacaan teks untuk
memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks[9]. Secara garis besar dengan adanya différance akan membantu mengurai makna teks yang ditemukan dalam sistem pemikiran atau apapun yang berupaya membakukan makna. Kata différance bagi Derrida dikenalkan untuk melihat lebih dari sebuah bahasa lama yang biasa disebut différence (fr), dimana kata tersebut memiliki kesamaan dari kata
difference (en) yang diartikan perbedaan. Konsepsi kata différence (fr) dan différance, jika
dilafalkan dengan suara akan memiliki kesamaan bunyi [defe’rã:s] dalam bahasa Prancis. Kedua kata tersebut tidak terlihat perbedaannya dalam tuturan, namun akan terlihat perbedaan maknanya ketika kedua kata tersebut tertulis. Hal itulah yang membuat munculnya konsep différance dipakai dalam arti yang lebih berbeda, différance dipakai untuk penundaan terhadap makna. Menurut gagasan Derrida mengenai Différance memiliki tiga pengertian, pertama mengenai to differ (en), untuk membedakan sifat dasarnya suatu makna. Dalam kajian ini melihat bahwa fenomena menteri Susi menunjukkan pembedaan episteme yang dibangun terhadap teks citra baku kepemimpinan di masyarakat. Kedua differe (fr), yang merupakan untuk menyebarkan makna tersebut. Fenomena menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak tamat SMU maka makna dari teks tersebut mungkin akan diterima atau ditolak oleh masyarakat. Ketiga to defer (en), merupakan penundaan makna. Pada fenomena menteri Susi ini membuat makna baru bagi citra kepemimpinan di Indonesia. Sehingga makna tentang seorang pemimpin khususnya pemimpin tidak perokok, tidak bertato dan tamat SMU menjadi gugur dengan sendirinya atau hilang. Menurut gagasan Derrida tentang to differ (en) ini melihat bahwa fenomena menteri Susi ini menunjukan pembedaan makna dasar dari teks itu berasal. Maka tulisan ini mencoba memaparkan makna teks yang tidak pernah muncul bahkan berlawanan dimasyarakat secara umum, sehingga makna teks tersebut menjadi hal yang baru. Jika diuraikan konsep difference ini dalam alur sebagai berikut:
teks citra baku kepemimpinan Indonesia à dekonstruksi Derrida dalam teks fenomena menteri Susi (differance)à teks citra baru kepemimpinan Indonesia
ü  The Other
Derrida menulis esai cemerlang tentang Levinas dalam Writing and Difference yang berjudul “Violence and Metaphysics: An Essay on the Thought of Emamanuel Levinas”[10]. Dalam hal ini Derrida menggambarkan bahwa ada kaitan antara metafisika dan kekerasan atau lebih tegas lagi metafisika melakukan kekerasan. Terhadap siapa? The Other. Kekerasan ini terselubung daam bentuk penampikkan atas the other oleh metafisika karena ego. Yang tak berhingga itu adalah orang lain, the other, Yang beda dari saya dan yang bukan saya. Berdasaran teori ini dapat dikatakan bahwa penampikkan terhadap kehadiran menteri Susi melalui metafor menteri Susi Pudjiastuti perokok, bertato dan tidak lulus SMU merupakan sebuah kekerasan yang muncul karena ego manusia mempertahankan citra kepemimpinan yang sehat, bersih dari tato, dan berpendidikan tinggi.




II.2 Citra Baku Kepemimpinan Indonesia
Mengapa berita Menteri Susi perokok, bertato dan tidak lulus SMU bisa muncul? Dibalik pernyataan ini sesungguhnya ada mitologi citra kepemimpinan yang tersembunyi. Citra baku yang dimaksudkan disini adalah citra kepemimpinan yang berfokus pada faktor fisik semata. Ciri-ciri kepemimpinan yang mudah diterima di Indonesia pada umumnya adalah mereka yang secara fisik terlihat kuat, berwibawa, bersih, taat beragama, santun. Tentu kita masih ingat bagaimana masyarakat terpesona dengan pencitraan mantan presiden SBY yang terkesan kuat, berwibawa, gagah dan berpendidikan tinggi. Kebanyakan memilihnya karena dasar pencitraan fisik semata tanpa pertimbangan prestasi dan track recordnya. Jika ada yang diluar dari itu dianggap salah dan tidak pantas. Kita tentu masih ingat bagaimana Jokowi dihina karena dianggap kurus, lemah, dan berwajah ndeso. Jadi sepertinya masyarakat lebih mementingkan pencitraan fisik semata tanpa memusingkan karakter apalagi kinerja dan prestasi. Disamping itu Indonesia masih menjadi negara yang family oriented sehingga keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menjadi patokan yang benar. Tidak heran Susi dipandang negatif karena situasi pernikahannya seolah mengancam tatanan masyarakat yang terpusat pada kekeluargaan yang sangat kental. Lalu apa yang kita dapat dari itu semua? Lupakah kita bagaimana para pejabat yang tampaknya sehat secara fisik dan gagah ternyata tidak lebih daripada koruptor yang menindas rakyat?. Berikut ini uraian bagaimana menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU membongkar citra baku kepemimpinan Indonesia yang mementingkan fisik semata.
II.3 Kepemimpinan menteri Susi sebagai sebuah upaya dekonstruksi?
Siapa yang ingin jadi orang tua tunggal? Siapa yang ingin gagal dalam kehidupan dua kali perkawinan? Mengapa media lebih suka menyoroti kehidupan pribadi saya? Tato saya? Kebiasaan merokok? Saya pernah menikah dengan orang asing? Utang bank? Tahu nggak bahwa aset saya, pesawat-pesawat dan pabrik itu lebih besar nilainya?[11] Demikian sepengggal komentar Susi menanggapi segala cercaan yang dialamatkan kepadanya. Susi bernama lengkap Susi Pudjiastuti lahir pada 15 Januari 1965 di Pangandaran[12]. Ayahnya bernama Haji Ahmad Karlan dan ibunya bernama Hajjah Suwuh Lasminah, keduanya berasal dari Jawa Tengah, namun sudah lima generasi hidup di Pangandaran. Susi terpilih menjadi salah satu menteri di Kabinet Kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang ditetapkan secara resmi pada 26 Oktober 2014. Sebelum dilantik, Susi melepas semua posisinya di perusahaan penerbangan Susi Air dan beberapa posisi lainnya, termasuk Presiden Direktur PT. ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan serta PT ASI Pudjiastuti Aviation yang bergerak di bidang penerbangan untuk menghindari konflik kepentingan antara dirinya sebagai menteri dan sebagai pemimpin bisnis. Selain itu, alasan lain Susi melepas semua jabatannya adalah agar dapat bekerja maksimal menjalankan pemerintahan, khususnya di bidang kelautan dan perikanan. Berikut ini pembongkaran (dekonstruksi) terhadap citra baku kepemimpinan Indonesia lewat teks menteri Susi perokok, bertato dan tidak lulus SMU:
Ø  Metakognisi Menteri Susi (dekonstruksi status pendidikan)
Hanya tiga kata yang diucapkan Rhenald Kasali untuk menilai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. “Sangat cerdas. Jenius,” kata dia, pada Jumat 5 Desember 2014[13]. Menanggapi berbagai reaksi miring terhadap status pendidikan menteri Susi yang tidak lulus SMU. Menurut Rhenald, penilaian itu dia berikan menggunakan kacamata "metakognisi". "Selama ini orang hanya melihat dari aspek kognisi. Banyak orang kognisinya jago, tapi tidak memiliki metakognisi,” tutur mentor Dian Sastro dan Mooryati Soedibyo itu.
Metakognisi, lanjut Rhenald, adalah kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan[14]. Saat ini, dia menilai, banyak orang mempunyai kecerdasan, tetapi tidak memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya itu. Orang tanpa kemampuan metakognisi, sebut Rhenald, akan gampang mengomel, arogan, serta cenderung meremehkan orang tanpa gelar. Orang-orang yang hanya unggul kognisinya tidak punya kemampuan berelasi dengan orang lain. “Nah, oleh karena itu, perlu orang yang memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan yang dimiliki. Itu harus dibangun dari kecil. Itu dia entrepreneurship. Entrepreneurship itu bukan cari uang, tapi mencari solusi kehidupan terhadap persoalan yang dihadapi,” imbuh Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu. Beberapa waktu lalu, Rhenald pernah mengulas soal metakognisi ini (Baca juga Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti). Dalam tulisan itu, Rhenald menyebutkan, ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi, yaitu faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausahawan kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Susi memiliki metakognisi ini yang memampukan dia membangun bisnisnya selama 30 tahun tanpa kenal lelah dan menjalin relasi dengan banyak orang mulai dari nelayan di Pangandaran sampai para politisi dan pejabat lainnya. Meski tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, bahasa Inggris Susi cukup bagus. Dia belajar bahasa asing dengan banyak membaca buku. Juga karena harus berkomunikasi dengan mantan suami yang warga negara asing, Daniel Kaiser. Hal ini seolah menegaskan bahwa Susi yang tidak lulus SMU ini ternyata mampu berbahasa Inggris jika memang itu dipandang sebagai syarat utama dalam membangun komunikasi dengan dunia internasional.
Dengan demikian kehadiran Susi mendekontruksi citra ideal kepemimpinan Indonesia bahwa jika setingkat menteri harus memiliki ijazah kalau perlu doktoral dan guru besar di sebuah universitas terkenal. Kecerdasan seseorang tidak diukur dari selembar ijazah dan ilmu pengetahuan tidak hanya ditemukan di sekolah formal. Hal ini mengingat juga banyak pejabat yang tersandung kasus ijasah palsu hanya demi mengejar gelar master atau doktor dibelakang namanya.
Ø  Citra tubuh perempuan (dekonstruksi penampilan sebagai yang perokok, bertato, nyentrik dan bicara yang ceplas ceplos)
Smoke is not good. I’ve tried to quit. But not easy. I will try. But, I’ve asked media not to publish that picture.” Susi sadar bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan dan panutan bagi publik tetapi menurut penulis bukan itu letak masalahnya. Masalahnya adalah mengapa hanya Susi yang dipersoalkan merokok dan bertato? Bagaimana dengan menteri laki-laki yang lain apakah juga sudah memeriksa mereka merokok dan bertato? Jadi Susi digugat mengapa merokok dan bertato bukan karena soal kesehatan dan keteladanan sebagai pejabat publik tetapi lebih karena ia seorang perempuan. Merokok adalah aktivitas yang wajar dari kaum laki-laki. Hanya laki-laki yang dapat merokok. Tubuh perempuan memang selalu menjadi komoditas publik dan bahkan ia sendiri tidak dapat menggunakan atau menentukan kehendaknya atas tubuhnya sendiri. Seks juga menjadi tema dalam kegiatan politis, dipakai dalam kampanye ideologis tentang moralitas atau penanggungjawaban. Secara umum dalam pengaitan tubuh dengan populasi, seks menjadi sasaran utama bagi kekuasaan yang disusun di sekitar pengelolaan kehidupan daripada kematian[15].
Sehari-hari Susi memang tampil apa adanya. Baju koleksinya yang biasa saja. Bos perusahaan penerbangan yang kini mengoperasikan 49 pesawat itu hanya menggunakan rok santai, kadang celana selutut. Rambut digelung dengan jepitan ke atas. Tanpa riasan[16]. Susi telah mendekonstruksi mitos selama ini bahwa pemimpin perempuan harus tampil cantik dengan riasan dan berpenampilan feminim dengan tutur kata yang dijaga sangat ketat. Susi telah berhasil keluar dari citra baku tersebut.
Ø  Kepemimpinan yang pro rakyat (dekonstruksi nasionalisme)
“Saya menerima jabatan ini bukan karena ingin kaya, apalagi ingin populer[17]. Saya sudah menggeluti bisnis perikanan selama 33 tahun. Mulai dari bawah. Saya tahu apa problemnya, kendalanya, saya pikir, saya bisa do something. Saya menghargai keberanian Pak Jokowi untuk mengangkat orang seperti saya, yang tidak tamat sekolah, untuk menjadi anggota kabinetnya. Saya dan Pak Jokowi ada persamaan karakter. Kami tidak suka hal yang normatif. Kami maunya kerja. Komitmen penuh pada tanggung jawab. Meskipun begitu, bukan berarti saya merasa paling tahu. Kementerian Kelautan dan Perikanan ini besar. Yang diurus banyak. Praktis salah satu core visi Pemerintahan Jokowi soal kemaritiman ada di kementrian ini. Besar tanggung jawabnya. Jadi, saya siap dan selalu mau untuk belajar.” Demikian pernyataan lugasnya. Dapat kita simak pernyataan diatas hendak menegaskan posisi Susi sebagai pembantu presiden Jokowi. Sebagai pimpinan di Kementrian Kelautan dan Perikanan, visi Susi adalah: agar pemerintahan Jokowi bisa menyejahterakan nelayan dan masyarakat yang hidup di pesisir, nelayan laut lepas, nelayan yang bekerja di pembudidayaan. “Kita harus menjadi tuan rumah di laut kita sendiri. Tujuh puluh persen wilayah Indonesia itu laut. Kok ekspor hasil laut kita kalah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia?”. Pemerintahan Jokowi, kata Menteri Susi akan mengubah paradigma konsentrasi pembangunan yang selama ini fokus ke daratan. “Lautan adalah sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, renewable. Begitu juga sektor perikanan non laut. Yang juga penting dijaga adalah bagaimana memanen hasil laut, penangkapan ikan, dilakukan secara terukur, tanpa mengeruk habis saat ini. Sustainability dalam membangun ekonomi termasuk di kelautan dan perikanan sangat penting. Menjaga kelestarian lingkungan menjadi upaya simultan,” kata Susi. Susi merasa tak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan para eselon 1, yang sudah ditemuinya dalam dua hari pertama kepemimpinannya. “I don’t feel inferior. Kita diskusinya terbuka. Tidak selalu akademis. Saya merasa eselon 1 menerima saya secara sejajar, we are equal. Ya tentu saya siap belajar. Udah nggak sekolah, masak nggak mau belajar? Tapi saya punya pengalaman nyata. Mereka menghargai itu.” Melihat pernyataan tegas dan komitmen Susi diatas masihkah kita meragukan rasa nasionalismenya?
Ø  “I am a proud single Mom” (dekonstruksi status pernikahan)
Susi bahagia memiliki 3 orang anak dan seorang cucu berumur 8 tahun. Dalam hal asmara, Susi tak ragu bercerita bahwa ia telah menikah sebanyak tiga kali[18]. “Dari tiap suami, saya masing-masing mendapat seorang anak,” katanya. Pernikahan dengan teman sepermainannya pada tahun 1983 tak bertahan lama. Perkawinan itu memberinya Panji Hilmansyah (31 thn), putra sulung, yang kini telah menikah. Pernikahan kedua bersama Daniel Kasier tahun 1992 dan dianugerahi puteri bernama Nadine Pascale Kasier (22 thn) dan pernikahan terakhir bersama Christian von Strowberg dikaruniai anak Alvi Xavier (13 thn). Ia sadar kehidupan pribadinya tidak dapat menjadi panutan tetapi dibalik itu semua ia tetap bangga sebagai seorang ibu. Sampai sekarang ia tetap berkomunikasi secara baik dengan mantan-mantan suaminya.
III. Membangun kembali citra kepemimpinan di Indonesia
Era pemerintahan Jokowi-JK menandai tibanya babak baru kepemimpinan yang demokratis di Indonesia karena mereka lahir dari proses pemilihan langsung ketika masyarakat sudah sejak lama sangat merindukan sosok pemimpin yang berpihak dan mengerti isi hati wong cilik. Jokowi-JK mengusung Nawa Cita sebagai konsep pembangunan Indonesia yang pro-rakyat dan untuk itulah Kabinet Kerja dibentuk untuk merealisasikan apa yang dicita-citakan melalui Nawa Cita. Kabinet ini memiliki semboyan kerja, kerja dan kerja sebuah terobosan yang berupaya keras meruntuhkan wacana selama ini bahwa para pejabat publik hanya menyengsarakan rakyat dengan berfoya-foya menikmati fasilitas negara, menumpuk kekayanan demi kepentingan diri sendiri, korupsi dan parasit. Pada kabinet inilah Susi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Mari menengok beberapa kebijakan menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU ini sebagai sebuah gebrakan dan citra baru kepemimpinan di Indonesia:
v  Hari pertama berkantor di Kementrian Kelautan dan Perikanan
Hari pertama menjadi menteri, Susi melakukan sidak naik turun tangga. Sekarang dia menggunakan celana panjang sebagai busana kerja, menutupi tato di kaki. Tato yang keren sebenarnya. Tapi dia paham, masyarakat masih sulit menerima. Meskipun tato itu sudah ada jauh sebelum Susi menerima jabatan menteri.
v  Susi tak mau dipanggil “Ibu Menteri”.
“Kalau dipanggil Ibu Menteri, saya nggak nengok. Nggak ngeh. Kalau Ibu Susi, pasti nengok,” ujarnya.[19] Media nakal-nakal ya?” Susi melanjutkan, “Mengapa yang dikorek-korek selalu masalah pribadi saya? Tolong disampaikan, media please help me, instead of bullying me. Help me to do my job.” Sebuah kerendahan hati yang sangat langka dimiliki para pejabat publik yang sangat suka mendapat penghormatan atas jabatannya.
v  Saya harap kita bisa bekerja keras siang dan malam untuk membangun kementerian ini dan menyejahterakan nelayan. Siap bekerja siang malam dengan saya?”
Ucapan Susi saat acara serah terima jabatan ini disambut senyum seribuan karyawan yang memenuhi aula Gedung Mina Bahari 3, di belakang kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan tersebut.

v  Gebrakan Susi ditandai dengan memajukan jam kerja di lingkungan kementeriannya
Jam kerja pegawai dimajukan dari pukul 08.00 wib menjadi pukul 07.00 wib, sehingga karyawan bisa pulang lebih cepat, pukul 15.00 wib. Alasan Susi, dengan berangkat lebih pagi dan pulang lebih siang, karyawan dapat menghindari kemacetan. Datang ke kantor lebih pagi dalam keadaan segar dan sore hari sudah di rumah untuk punya lebih banyak waktu untuk keluarga. “Semua profesional. Mereka bekerja keras, kerja lari cepat. Saya ingin di KKP juga begitu.”
v  Moratorium perizinan kapal besar awal November 2014
Aksi ilegal fishing yang selama ini dilakukan merugikan negara sebanyak Rp.300 trilyun setiap tahunnya oleh karena itu Susi menerapkan kebijakan moratorium perizinan kapal besar sehingga berdampak positif antara lain nelayan kecil dapat bebas menagkap ikan. Susi mengeluarkan kebijakan menghentikan sementara (moratorium) izin kapal baru dan mengkaji ulang seluruh izin tangkap kapal ikan di atas 30 Gross Ton (GT) selama 6 bulan ke depan. Aturan yang sudah ditandatangani Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa instansi lain.
v  Penenggelaman kapal-kapal asing yang berkeliaran menangkap ikan dan hasil laut di perairan Indonesia atas instruksi Jokowi
Dilaporkan Susi bahwa sebanyak 22 kapal dari Tiongkok (07 Desember 2014) telah ditangkap dan 3 kapal dari Vietnam telah ditenggelamkan. Susi memprotes keras kapal-kapal asing milik Tiongkok yang berkeliaran di perairan Indonesia bahkan dengan memakai bendera Indoneisia. Akibat kebijakan ini negara-negara asing mulai ketar-ketir memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin.
v  Susi berencana stop impor garam
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia sebagai penghasil garam malah mengimpor garam dari negara lain. Hal ini tentu saja merugikan petani garam negeri sendiri pasalnya garam lokal tak laku dibanding garam impor. Dalam waktu dekat Susi siap untuk menghentikan impor garam[20]. Untuk memenuhi kebutuhan garam dengan kualitas bagus bagi industri, Susi akan melatih produsen garam lokal agar menghasilkan garam dengan kualitas terbaik.
Tigapuluh tahun lebih bekerja keras mulai dari menjadi pedagang ikan di pasar, jatuh bangun dalam bisnis ikan dan trasportasi udara serta pernikahan yang gagal membuat Susi selalu tampil tegar. Jabatan menteri yang tak pernah ia mimpikan itu menjadi sebuah tantangan baru dalam hidupnya. Kehadirannya memberi warna baru dalam Kabinet Kerja Jokowi dan khususnya kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia. “Saya sudah bilang, kalau saya tidak nyaman karena banyak ditekan dan harus melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani, saya akan tinggalkan posisi ini,” kata Susi. Nothing to loose. Dalam Buku Surat dari dan untuk Pemimpin terbitan Tempo Institute, Susi menggambarkan karakter dirinya. “Menjadi orang dengan pikiran merdeka, itulah saya,” katanya. “Saya masuk dunia bisnis yang keras,” katanya kemudian. “Tak bisa tidak, saya harus berpikir merdeka. I can only lead if I have free mind,” katanya lagi.
Oleh karena itu mengapa kita terus mempersoalkan menteri Susi yang perokok, bertato, dan tidak lulus SMU? Sementara masih banyak pejabat yang tidak perokok, tidak bertato dan berpendidikan tinggi tetapi melakukan korupsi, penindasan struktural dan menyengsarakan rakyat? Marilah kita menerima secara terbuka kehadiran menteri Susi dan sebagai masyarakat Indonesia mendukung pemerintahan Jokowi-JK bersama menteri Susi melalui kerja, kerja, dan kerja. Mari kita sambut dengan gembira ketika Susi mengkampanyekan makan ikan terutama untuk anak-anak kita agar sehat dan menghargai hasil kerja nelayan kita.
Matanya berkaca-kaca saat menerima ucapan selamat dari pejabat, relasi dan kawan yang hadir kemarin. Perlahan air matanya makin deras mengalir. Dia memeluk erat satu persatu, termasuk mantan suaminya, Daniel Kaiser. “Kalian semua hebat, terima kasih selama ini sudah mendukung saya,” bisiknya sambil mengusap air mata dengan ujung selendang”[21]. Selamat berjuang melayani masyarakat Indonesia ya Ibu menteri, doa kami menyertaimu selama 5 tahun kedepan sampai selesai menunaikan tugasmu mensejahterakan masyarakat Indonesia khususnya nelayan yang selama ini miskin dan terbuang di negerinya sendiri.
IV.   Kesimpulan
Setelah menguraikan fenomena menteri Susi sebagai sebuah upaya dekonstruksi citra kepemimpinan di Indonesia diatas, maka tulisan ini akhirnya tiba pada beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
a.    Masyarakat Indonesia masih hidup dalam mitologi kepemimpinan yang lebih menekankan kepada fisik yang kelihatan baik seperti berpendidikan tinggi, bersih, memiliki keluarga utuh, sehat jasmani, dan mementingkan penampilan yang rapi itulah yang paling sah dan benar.
b.    Kepemimpinan perempuan selalu dipersoalkan dan bias gender
c.    Fenomena menteri Susi sebagai upaya mendekonstruksi citra kepemimpinan Indonesia yang kaku dan patriakhis sehingga menimbulkan citra baru kepemimpinan Indonesia yang lepas dari bayang-bayang metafisika.
d.      Kepemimpinan Susi meski baru beberapa bulan sudah memberikan bukti yang signifikan bahwa ia pro rakyat khususnya wong cilik. Ini membuktikan rasa nasionalisme Susi yang dipersoalkan patah dengan sendirinya hanya karena ia pernah menikah dan memiliki anak dari pria berkewarganegaraan asing.




Sumber Rujukan
Buku:
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, Yogyakarta: LKis, 2006
Hardiman, F. Budi, Melampaui Positifisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Noris, Christian dalam David Wood ed), Derrida: A Critical Reader, USA: Blackwell Publisher Inc, 1992
Artikel dan berita online:
Berita Okezone.com pada Senin, 27 Oktober 2014 - 11:22 wib, oleh Fahmi Firdaus-Okezone, akses tanggal 09 Desember 2014
http://www.femina.co.id/waktu.senggang/selebritas/jodoh.ketiga.susi.pudjiastuti/006/002/1112
http://www.merdeka.com/peristiwa/beredar-foto-menteri-susi-blusukan-naik-motor-laki.html
Kasali, Rhenald, Tiga Kata Rhenald Kasali Untuk Susi Pudjiastuti, Kompas online akses tanggal 9 Desember 2014
Lubis, Uni, Kontroversi Ibu Menteri Susi Pudjiastuti, dalam 100 Hari Jokowi JK, Ekonomi dan Bisnis, Inspirasi, Leadership, Politik, 30 Oktober 2014, Uni Lubis.com, akses tanggal 09 desember 2014
Wikipedia Indonesia, Menteri Susi Pudjiastuti, akses tanggal 30 November 2014




[1]http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic
[2]Firdaus, Berita Okezone.com pada Senin, 27 Oktober 2014 - 11:22 wib

[3]Uni Lubis, Kontroversi Menteri Susi Pudjiastuti dalam 100 Hari Jokowi JK, Ekonomi dan Bisnis, Inspirasi, Leadership, Politik, 30 Oktober 2014, laman Uni Lubis.com
[4]ibid
[6]Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta:LKis, 2006), hal 2
[7]F. Budi Hardiman, Melampui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), ha183
[8]Al-Fayyadl, ibid, hal 16-17
[9]Ibid, hal 111
[10]ibid, hal 146-147
[11]Lubis, ibid, hal 1
[12]Biografi selengkapnya dapat disimak dalam Menteri Susi Pudjiastuti di situs Wikipedia Indonesia, akses pada 30 November 2014
[13]Rhenald Kasali, dalam Tiga Kata Rhenald Kasali Untuk Susi Pudjiastuti, Kompas online akses tanggal 9 Desember 2014
[14]Ibid, Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu", menurut Rhenald, adalah fondasi penting bagi pembaruan dan kehidupan yang produktif.  “Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif,” simpul Rhenald.
[15]Michel Foucault, Sejarah Seksualitas dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 1997
[16]Uni Lubis
[17]ibid
[18]http://www.femina.co.id/waktu.senggang/selebritas/jodoh.ketiga.susi.pudjiastuti/006/002/1112
[19]ibid
[20]http://bisnis.liputan6.com/read/2143370/menteri-susi-siap-stop-impor-garam
[21]Lubis, ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar