I. Pendahuluan: “Ada Apa dengan Menteri Susi?”
Siapa
yang tidak mengenal sosok perempuan bernama Susi Pudjiastuti? Seorang perempuan
yang sontak menjadi buah bibir dan mengundang kontroversial ketika resmi
diangkat menjadi salah satu pembantu presiden Joko Widodo sebagai Menteri
Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019. Susi
dipercayai oleh Jokowi untuk memimpin salah satu kementerian strategis yang
bersangkutpaut dengan sumber daya alam yang sangat kaya di negara Indonesia ini
yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Susi adalah satu dari 34 orang menteri
dan satu dari 8 orang menteri perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi. Hal ini
memecahkan rekor menteri perempuan terbanyak dari periode sebelum-sebelumnya
semenjak negara Indonesia ini berdiri[1].
Pertanyaan mengemuka kemudian apakah yang menjadikan Susi sedemikian kontroversial
dimata masyarakat?
“Menteri Susi Pudjiastuti Perokok, Bertato &
Tak Lulus SMU”.[2]
Demikian headline
news beberapa media di Indonesia beberapa hari setelah ia diangkat menjadi
menteri pada tanggal 26 Oktober 2014 silam. Sontak saja masyarakat terbelah
menjadi dua kubu yaitu pro dan kontra terhadap kehadiran Susi. Ada yang
terang-terangan menolak kehadirannya dan adapula yang mendukungnya. Akan tetapi
yang banyak diulas di media justru pandangan negatif yang bahkan meragukan
kepemimpinannya. Apakah ada yang
salah dengan Susi? Menyoal apa yang menjadi kontroversial menurut masyarakat
itu maka beberapa hal bisa disebutkan disini:
·
Tidak Lulus SMU (drop out)
Susi
mungkin satu-satunya menteri yang hanya tamat SMP. Ia sempat mengenyam
pendidikan di bangku SMU tetapi kemudian berhenti. Pada waktu itu ia bersekolah
di SMUN 1Yogyakarta. Berita yang beredar di masyarakat bahwa ia diberhentikan
alias drop out karena aktif dalam gerakan golput. Asumsi yang muncul kemudian
adalah bahwa Susi termasuk anak pemberontak ketika bersekolah. Benarkah
demikian? Jabatan seorang menteri memang dinilai sangat prestisius, sehingga
dibutuhkan seseorang yang ahli dan memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni.
Disinilah letak kontroversinya Susi karena jika ditilik secara jenjang studi
didapati ia hanya tamat SMP. Asumsi yang bermunculan kemudian ialah bagaimana
mungkin ia memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi seorang menteri yang
membawahi ribuan pegawai negeri sipil dan diantaranya ada yang bergelar magister?
Seorang guru besar salah satu universitas di Makassar bahkan mencemooh
pengangkatan Susi sebagai menteri oleh Jokowi yang dianggap menghina dunia
pendidikan dan profesionalisme karena Susi cuma tamat SMP. Kita mungkin juga
masih ingat ketika tokoh sebesar Amien Rais menantang debat terbuka dengan
Megawati Soekarnoputri yang dinilainya tidak pantas menjadi presiden karena cuma
tamat SMU. Tingkat pendidikan masih menjadi syarat utama untuk menjadi seorang
pemimpin di Indonesia.
·
Perokok
Sesaat
setelah diumumkan sebagai menteri Minggu sore, 26 Oktober 2014 yang lalu, Susi
menepi ke salah satu sudut halaman belakang istana merdeka[3].
Disana ia ingin melepas lelahnya. Ia bersimpuh melepaskan sepatu haknya dan
merokok. Momen itulah yang ditangkap dan diabadikan ramai-ramai oleh awak media.
Sebuah pemandangan yang dianggap langka dan tidak pantas dilakukan oleh seorang
menteri. Sejak saat itu media terus menguliti kehidupan pribadinya termasuk
kebiasaannya merokok. Pantaskah seorang pejabat publik merokok? Demikian
komentar masyarakat bahkan anak-anak yang turut mempertanyakan hal tersebut,
apalagi ia seorang perempuan dan ibu. Susi dikecam publik karena kebiasaannya
ini.
·
Bertato
Pada
sebuah foto di media sosial memperlihatkan Susi yang sedang berpidato. Apa yang
menarik dari foto itu adalah tanda anak panah yang menunjuk tepat terarah ke
bagian kaki sebelah kanan Susi dengan keterangan tato Ibu Menteri. Tato masih dianggap sebagai hal yang tabu bahkan
terlarang oleh masyarakat sehingga orang yang bertato diasumsikan lekat dengan
kejahatan, premanisme dan kekerasan lainnya. Pendek kata terlanjur tertanam
kuat dalam pikiran dan ingatan masyarakat bahwa tato itu merusak tubuh sebagai ciptaan
Tuhan dan mereka yang mentato tubuhnya digeneralisasi sebagai orang berdosa dan
jahat. Masih segar dalam ingatan ketika media ramai-ramai memberitakan seorang
mantan presenter media televisi terkenal bernama Chantal Dela Concheta yang memiliki tato persis seperti Ibu Susi di
kaki sebelah kanannya. Media menyoroti bagian tubuh Chantal yang bertato itu
sembari terperangah bagaimana mungkin seorang presenter cantik dan pintar
seperti Chantal memiliki tato?
·
Seorang single parent dan menikah sebanyak 2
kali lalu bercerai
“Saya punya anak 3 dan cucu 1. Saya menikah 2 kali dan sekarang single
parent,” ucap Susi
lantang ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa, 28 Oktober 2014[4].
Seorang pejabat publik yang bercerai memang selalu menjadi sorotan apalagi Susi
yang dituduh poliandri. Seorang pejabat publik yang datang dari keluarga utuh,
memiliki suami/istri satu dan tidak bercerai merupakan konsep citra ideal bagi
seorang pemimpin yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga ketika Susi
muncul sebagai seorang ibu single parent, bercerai dari dua suami pula maka
menjadi kontroversial karena dipandang melawan konsep citra baku pejabat publik
tersebut. Teladan apa yang dapat dicontoh dari seseorang yang menikah sampai
dua kali dan bercerai pula itu? Demikian kiranya pandangan negatif yang
bermunculan manakala merespon situasi pernikahan menteri Susi. Kita tentu masih
ingat bagaimana Prabowo pada waktu pemilu presiden yang lalu dicemooh karena
tidak memiliki pendamping karena bercerai. Lalu seolah-olah diisukan rujuk
dengan mantan istri untuk menampik isu miring tersebut.
·
Bersuamikan warga negara asing
Suami kedua dan ketiga Susi adalah seorang pria berkewarganegaraan
asing. Dari keterangan Daniel Kaiser (suami
kedua) yang berkebangsaan Swiss, dia menikah dengan Susi pada tahun 1992.
Usia pernikahannya tidak lama karena keduanya memutuskan berpisah pada tahun 1999.
Meskipun saat ini Daniel menetap di Swiss namun dia masih berkomunikasi dengan
Susi. Ketika Susi dilantik menjadi menteri, Daniel pun terbang dari Swiss
khusus datang untuk memberikan ucapan selamat kepada mantan istrinya itu.
Masyarakat mempertanyakan hal ini dalam kaitannya dengan rasa nasionalisme
Susi. Susi pernah memilih menikah dengan pria asing itu berarti ia punya ikatan
dengan orang asing. Sesuatu yang sulit diterima secara umum apalagi ia seorang
pejabat publik yang harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat kecil dan
terpinggirkan. Ideologi pribumi dan non
pribumi memang masih berakar kuat. Tentu kita masih ingat dengan jelas
tentang kampanye hitam yang dilakukan oleh media Obor Rakyat terhadap Jokowi menjelang pemilu Mei 2014 yang lalu.
Jokowi dikatakan sebagai warga keturunan asing Tiongkok dari Singapura, komunis
dan beragama Katolik.
·
Penampilan yang nyentrik dan gaya bicara
yang ceplas ceplos
Sebuah
foto beredar di media sosial ketika Susi mengadakan kunjungan kerja di
Kalimantan Utara pada 30 November 2014 yang lalu. Pada foto itu Susi mengendarai
sebuah motor Honda (Megapro) yang dianggap sebagai motor laki-laki dengan
memakai celana panjang dan sandal jepit hitam. “Ibu menteri Susi blusukan mengendarai motor laki”[5],
begitu bunyi tajuk pemberitaan media-media. Penampilan seperti inilah yang
dianggap nyentrik selain kebiasaannya berbicara ceplas-ceplos, to the point dan
apa adanya yang tidak begitu banyak berubah meski sudah menjadi menteri. Tidak
hanya itu saja, selain menyoroti gaya berbusana Susi yang lari dari kesan
feminitas seorang menteri perempuan, media juga menyoroti warna rambutnya yang
dicat coklat terang dan bukan hitam sebagai warna asli.
Demikianlah
sekilas ulasan mengapa Susi menjadi sedemikian kontroversial di mata masyarakat
Indonesia. Seorang pejabat publik yang tidak
lulus SMU, bertato dan merokok. Hal yang tidak lazim dan melawan kriteria
citra pemimpin di Indonesia. Oleh karena itu maka fenomena Susi sebagai menteri
perempuan menjadi ketertarikan penulis untuk mendalaminya memakai teori dekonstruksi
Derrida sebagai upaya membongkar citra ideal kepemimpinan Indonesia sekaligus membangun
citra baru kepemimpinan di Indonesia yang selanjutnya akan dibahas pada bagian
II dan III.
II. Teori
Derrida dan Fenomena menteri Susi
II.1. Teori dekonstruksi Derrida
Teori dekonstruksi dipakai disini
terhadap fenomena menteri Susi yang penulis pandang sebagai narasi teks
kepemimpinan yang berbeda dari konsep kepemimpinan seperti lazimnya dianut
sebagian besar masyarakat kita dewasa ini. Teori dekonstruksi dicetuskan oleh
seorang filsuf dan ilmuwan terkenal bernama Jaques Derrida[6].
Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil pada 15 Juli
1930 dan wafat pada Sabtu, 09 Oktober 2004 di Paris, Prancis. Ia lahir dari
keluarga keturunan Yahudi dan seorang diaspora yang lahir di Aljazair. Hidup di
negeri poskolonial apalagi negara yang dilanda perang seperti Aljazair menjadi
berkah terselubung baginya karena ia dapat melihat bagaimana tangan-tangan
kekuasaan kolonial mencengkeram Dunia Ketiga. Pada tahun 1949 ia pindah ke
Prancis untuk bersekolah dan kembali ke Aljazair pada tahun 1957 untuk
menunaikan wajib militernya selama dua tahun dengan mengajar bahasa Prancis dan
Inggris kepada anak-anak tentara disana. Sejak 1952, Derrida resmi belajar di
Ecole Normal Superiuere (ENS) sebuah sekolah elit yang dikelola oleh Michel
Foucault, Louis Althuser dan sejumlah filsuf terdepan Prancis. Setelah resmi
sarjana, Derrida mengajar di Husserl Archive, tahun 1960 mengajar di
Universitas Sorbonne dan kemudian di ENS. Tahun 1966 ia menyampaikan ceramah
legendaris di Universitas John Hopkins, bertajuk: “Structure, Sign, and Play in
the Discourse of the Human Sciences”. Setelah itulah Derrida sibuk meladeni
panggilan dimana setiap tahun ia menjadi professor tamu di sejumlah universitas
terbuka di Amerika Serikat. Pada tahun 1980, ia mempertahankan tesis
doktoralnya berjudul “The Time of a
Thesis: Punctuations”. Tahun 1986 ia diangkat menjadi guru besar humaniora
di universitas California, Irvine. Disinilah tercatat satu-satunya universitas
yang menyimpan karya terlengkap Derrida termasuk yang belum dipublikasikan. Sejak
1986 ia berturut-turut menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari
Universitas Cambridge, dll. Terakhir menerima Anugerah Adorno sebuah
penghargaan presitius di Jerman pada tahun 2001. Namun sejak didiagnosa
mengidap kanker hati maka praktis Derrida mengurangi jadwal acaranya sampai ia
wafat tahun 2004.
Derrida terkenal dengan
penolakkannya terhadap apa yang ia sebut metafisika kehadiran[7].
Seluruh tradisi pemikiran Barat merupakan pertarungan antara mitos dan logos
dalam metafisika kehadiran. Penolakkan Derrida ini bukan saja meniggalkan
modernitas tetapi juga membunuh mitos dan logos. Pupularitas Derrida tidak bisa
dilepaskan dari teori dekonstruksinya
yang masih sulit dipahami bahkan menjadi perdebatan dikalangan akademisi. Namun
demikian penulis berupaya sedemikian rupa untuk memakai teori ini dalam
membedah fenomena menteri Susi dalam narasi/teks kepemimpinan Indonesia. Lebih
lanjut dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung
jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Dekonstruksi
bersifat antiteori atau antimetode karena yang menjadi anasir didalamnya adalah
permainan (play) dan parodi. Pada titik inilah, narasi fenomena menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU akan diletakkan.
Dekonstruksi bisa
dikatakan sebagai salah satu bentuk strategi pembongkaran makna terhadap
teks. Proses pembacaan dekonstruksi terhadap fenomena sosial tidak memiliki
pengandaian,
sehingga tidak ada proses makna yang ditangkap seutuhnya. Derrida mempunyai
ciri khas tersendiri dalam mengartikan dekonstruksi[8].
Pertama,
dekonstruksi bertujuan untuk memahami sebuah teks, dimana bertolak dari makna
asal
teks itu sendiri. Kedua, pembacaan terhadap teks guna melawan dominasi
petanda yang mengikat teks itu sendiri. Kedua ciri tersebut
memperlihatkan suatu fenomena memiliki maknanya
sendiri-sendiri berdasarkan interpretasi oleh masyarakat atau pelakunya, karena
makna
tersebut mengalami penundaan dan pembongkaran makna terhadap struktur yang
ada.
Lebih lanjut Fayyadl mengatakan bahwa istilah “de-konstruksi” lebih dekat
dengan pengertian etimologis dari kata “analisa” yang berarti: ‘mengurai’, ‘melepaskan’, dan ‘membuka’. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkap
oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Selanjutnya, dalam sumber
yang sama ditegaskan bahwa dekonstruksi Derrida merupakan serangan langsung
terhadap gaya berpikir logosentrisme yang biasa dijumpai dalam teks-teks
filsafat. Dalam teori kontemporer sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah
dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi memang
melakukan pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah
penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai
dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan
semaksimal maksimalnya. Dalam catatan yang lain menyebutkan dekonstruksi
diartikan sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang
selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Susi termasuk
kelompok yang bukan saja diabaikan tetapi juga tidak diakui atau ditolak
kehadirannya akibat mitos kepemimpinan ideal yang dianut masyarakat.
Asumsi Derrida dalam melakukan dekonstruksi teks salah
satunya dengan
menggunakan
konsep différance yang
merupakan salah satu strategi pembacaan teks untuk
memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan
terhadap totalitas makna dalam teks[9].
Secara garis besar dengan adanya différance akan membantu mengurai makna
teks yang ditemukan dalam sistem pemikiran atau apapun yang berupaya membakukan
makna. Kata différance bagi Derrida dikenalkan untuk melihat lebih dari
sebuah bahasa lama yang biasa disebut différence (fr), dimana kata
tersebut memiliki kesamaan dari kata
difference
(en) yang diartikan perbedaan. Konsepsi kata différence (fr)
dan différance, jika
dilafalkan
dengan suara akan memiliki kesamaan bunyi [defe’rã:s] dalam bahasa
Prancis. Kedua kata tersebut tidak terlihat perbedaannya dalam tuturan, namun
akan terlihat perbedaan maknanya ketika kedua kata tersebut tertulis. Hal
itulah yang membuat munculnya konsep différance dipakai dalam arti yang
lebih berbeda, différance dipakai untuk penundaan terhadap makna. Menurut
gagasan Derrida mengenai Différance memiliki tiga pengertian, pertama
mengenai to differ (en), untuk membedakan sifat dasarnya suatu
makna. Dalam kajian ini melihat bahwa fenomena menteri Susi menunjukkan pembedaan
episteme yang dibangun terhadap teks citra baku kepemimpinan di
masyarakat. Kedua differe (fr), yang merupakan untuk menyebarkan
makna tersebut. Fenomena menteri Susi yang perokok,
bertato dan tidak tamat SMU maka makna dari teks tersebut mungkin akan
diterima atau ditolak oleh masyarakat. Ketiga to defer (en), merupakan
penundaan makna. Pada fenomena menteri Susi ini membuat makna baru bagi citra
kepemimpinan di Indonesia. Sehingga makna tentang seorang pemimpin khususnya
pemimpin tidak perokok, tidak bertato dan tamat SMU menjadi gugur dengan
sendirinya atau hilang. Menurut gagasan Derrida tentang to differ (en) ini
melihat bahwa fenomena menteri Susi ini menunjukan pembedaan makna dasar dari
teks itu berasal. Maka tulisan ini mencoba
memaparkan makna teks yang tidak pernah muncul bahkan berlawanan dimasyarakat
secara umum, sehingga makna teks tersebut menjadi hal yang baru. Jika diuraikan
konsep difference ini dalam alur sebagai berikut:
teks citra baku kepemimpinan Indonesia à dekonstruksi Derrida dalam teks fenomena menteri Susi (differance)à teks citra baru
kepemimpinan Indonesia
ü The
Other
Derrida menulis esai cemerlang tentang
Levinas dalam Writing and Difference yang berjudul “Violence and Metaphysics: An Essay on the Thought of Emamanuel Levinas”[10].
Dalam hal ini Derrida menggambarkan bahwa ada kaitan antara metafisika dan
kekerasan atau lebih tegas lagi metafisika melakukan kekerasan. Terhadap siapa?
The
Other. Kekerasan ini terselubung daam bentuk penampikkan atas the other
oleh metafisika karena ego. Yang tak berhingga itu adalah orang lain, the
other, Yang beda dari saya dan yang bukan saya. Berdasaran teori ini dapat
dikatakan bahwa penampikkan terhadap kehadiran menteri Susi melalui metafor menteri
Susi Pudjiastuti perokok, bertato dan
tidak lulus SMU merupakan sebuah kekerasan yang muncul karena ego manusia
mempertahankan citra kepemimpinan yang sehat, bersih dari tato, dan
berpendidikan tinggi.
II.2 Citra Baku Kepemimpinan Indonesia
Mengapa berita Menteri Susi
perokok, bertato dan tidak lulus SMU bisa muncul? Dibalik pernyataan ini sesungguhnya
ada mitologi citra kepemimpinan yang tersembunyi. Citra baku yang dimaksudkan disini
adalah citra kepemimpinan yang berfokus pada faktor fisik semata. Ciri-ciri
kepemimpinan yang mudah diterima di Indonesia pada umumnya adalah mereka yang
secara fisik terlihat kuat, berwibawa, bersih, taat beragama, santun. Tentu
kita masih ingat bagaimana masyarakat terpesona dengan pencitraan mantan
presiden SBY yang terkesan kuat, berwibawa, gagah dan berpendidikan tinggi.
Kebanyakan memilihnya karena dasar pencitraan fisik semata tanpa pertimbangan
prestasi dan track recordnya. Jika
ada yang diluar dari itu dianggap salah dan tidak pantas. Kita tentu masih
ingat bagaimana Jokowi dihina karena dianggap kurus, lemah, dan berwajah ndeso. Jadi sepertinya masyarakat lebih
mementingkan pencitraan fisik semata tanpa memusingkan karakter apalagi kinerja
dan prestasi. Disamping itu Indonesia masih menjadi negara yang family oriented sehingga keluarga yang
lengkap terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menjadi patokan yang benar. Tidak
heran Susi dipandang negatif karena situasi pernikahannya seolah mengancam
tatanan masyarakat yang terpusat pada kekeluargaan yang sangat kental. Lalu apa
yang kita dapat dari itu semua? Lupakah kita bagaimana para pejabat yang
tampaknya sehat secara fisik dan gagah ternyata tidak lebih daripada koruptor
yang menindas rakyat?. Berikut ini uraian bagaimana menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus
SMU membongkar citra baku kepemimpinan Indonesia yang mementingkan fisik
semata.
II.3 Kepemimpinan menteri Susi sebagai sebuah upaya dekonstruksi?
”Siapa yang ingin jadi orang tua tunggal? Siapa
yang ingin gagal dalam kehidupan dua kali perkawinan? Mengapa media lebih suka
menyoroti kehidupan pribadi saya? Tato saya? Kebiasaan merokok? Saya pernah
menikah dengan orang asing? Utang bank? Tahu nggak bahwa aset saya,
pesawat-pesawat dan pabrik itu lebih besar nilainya?[11]
Demikian sepengggal komentar Susi
menanggapi segala cercaan yang dialamatkan kepadanya. Susi bernama lengkap Susi Pudjiastuti lahir pada 15 Januari 1965 di Pangandaran[12].
Ayahnya bernama Haji Ahmad Karlan dan ibunya bernama Hajjah Suwuh
Lasminah, keduanya berasal dari Jawa Tengah, namun sudah lima generasi hidup di Pangandaran.
Susi terpilih menjadi salah satu menteri di Kabinet Kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang
ditetapkan secara resmi pada 26 Oktober 2014. Sebelum dilantik, Susi
melepas semua posisinya di perusahaan penerbangan Susi Air dan beberapa posisi
lainnya, termasuk Presiden Direktur PT. ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang
perikanan serta PT ASI Pudjiastuti Aviation yang bergerak di bidang penerbangan
untuk menghindari konflik kepentingan antara dirinya sebagai menteri dan
sebagai pemimpin bisnis. Selain itu, alasan lain Susi melepas semua jabatannya
adalah agar dapat bekerja maksimal menjalankan pemerintahan, khususnya di
bidang kelautan dan perikanan. Berikut ini pembongkaran (dekonstruksi)
terhadap citra baku kepemimpinan Indonesia lewat teks menteri Susi perokok, bertato dan
tidak lulus SMU:
Ø Metakognisi
Menteri Susi (dekonstruksi status pendidikan)
Hanya tiga kata yang diucapkan Rhenald Kasali untuk menilai Menteri
Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. “Sangat
cerdas. Jenius,” kata dia, pada Jumat 5 Desember 2014[13]. Menanggapi
berbagai reaksi miring terhadap status pendidikan menteri Susi yang tidak lulus
SMU. Menurut Rhenald, penilaian itu dia berikan menggunakan kacamata "metakognisi". "Selama
ini orang hanya melihat dari aspek kognisi. Banyak orang kognisinya jago, tapi
tidak memiliki metakognisi,” tutur mentor Dian Sastro dan Mooryati Soedibyo
itu.
Metakognisi, lanjut Rhenald, adalah kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan[14]. Saat ini, dia menilai, banyak orang mempunyai kecerdasan, tetapi tidak memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya itu. Orang tanpa kemampuan metakognisi, sebut Rhenald, akan gampang mengomel, arogan, serta cenderung meremehkan orang tanpa gelar. Orang-orang yang hanya unggul kognisinya tidak punya kemampuan berelasi dengan orang lain. “Nah, oleh karena itu, perlu orang yang memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan yang dimiliki. Itu harus dibangun dari kecil. Itu dia entrepreneurship. Entrepreneurship itu bukan cari uang, tapi mencari solusi kehidupan terhadap persoalan yang dihadapi,” imbuh Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu. Beberapa waktu lalu, Rhenald pernah mengulas soal metakognisi ini (Baca juga Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti). Dalam tulisan itu, Rhenald menyebutkan, ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi, yaitu faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausahawan kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Susi memiliki metakognisi ini yang memampukan dia membangun bisnisnya selama 30 tahun tanpa kenal lelah dan menjalin relasi dengan banyak orang mulai dari nelayan di Pangandaran sampai para politisi dan pejabat lainnya. Meski tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, bahasa Inggris Susi cukup bagus. Dia belajar bahasa asing dengan banyak membaca buku. Juga karena harus berkomunikasi dengan mantan suami yang warga negara asing, Daniel Kaiser. Hal ini seolah menegaskan bahwa Susi yang tidak lulus SMU ini ternyata mampu berbahasa Inggris jika memang itu dipandang sebagai syarat utama dalam membangun komunikasi dengan dunia internasional.
Metakognisi, lanjut Rhenald, adalah kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan[14]. Saat ini, dia menilai, banyak orang mempunyai kecerdasan, tetapi tidak memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya itu. Orang tanpa kemampuan metakognisi, sebut Rhenald, akan gampang mengomel, arogan, serta cenderung meremehkan orang tanpa gelar. Orang-orang yang hanya unggul kognisinya tidak punya kemampuan berelasi dengan orang lain. “Nah, oleh karena itu, perlu orang yang memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan yang dimiliki. Itu harus dibangun dari kecil. Itu dia entrepreneurship. Entrepreneurship itu bukan cari uang, tapi mencari solusi kehidupan terhadap persoalan yang dihadapi,” imbuh Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu. Beberapa waktu lalu, Rhenald pernah mengulas soal metakognisi ini (Baca juga Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti). Dalam tulisan itu, Rhenald menyebutkan, ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi, yaitu faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausahawan kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Susi memiliki metakognisi ini yang memampukan dia membangun bisnisnya selama 30 tahun tanpa kenal lelah dan menjalin relasi dengan banyak orang mulai dari nelayan di Pangandaran sampai para politisi dan pejabat lainnya. Meski tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, bahasa Inggris Susi cukup bagus. Dia belajar bahasa asing dengan banyak membaca buku. Juga karena harus berkomunikasi dengan mantan suami yang warga negara asing, Daniel Kaiser. Hal ini seolah menegaskan bahwa Susi yang tidak lulus SMU ini ternyata mampu berbahasa Inggris jika memang itu dipandang sebagai syarat utama dalam membangun komunikasi dengan dunia internasional.
Dengan demikian
kehadiran Susi mendekontruksi citra ideal kepemimpinan Indonesia bahwa jika
setingkat menteri harus memiliki ijazah kalau perlu doktoral dan guru besar di
sebuah universitas terkenal. Kecerdasan seseorang tidak diukur dari selembar
ijazah dan ilmu pengetahuan tidak hanya ditemukan di sekolah formal. Hal ini mengingat
juga banyak pejabat yang tersandung kasus ijasah palsu hanya demi mengejar
gelar master atau doktor dibelakang namanya.
Ø Citra
tubuh perempuan (dekonstruksi penampilan sebagai yang perokok, bertato, nyentrik
dan bicara yang ceplas ceplos)
“Smoke is not good. I’ve tried to quit. But not
easy. I will try. But, I’ve asked media not to publish that picture.” Susi sadar bahwa merokok itu tidak baik
untuk kesehatan dan panutan bagi publik tetapi menurut penulis bukan itu letak
masalahnya. Masalahnya adalah mengapa hanya Susi yang dipersoalkan merokok dan
bertato? Bagaimana dengan menteri laki-laki yang lain apakah juga sudah
memeriksa mereka merokok dan bertato? Jadi Susi digugat mengapa merokok dan
bertato bukan karena soal kesehatan dan keteladanan sebagai pejabat publik tetapi
lebih karena ia seorang perempuan. Merokok adalah aktivitas yang wajar dari
kaum laki-laki. Hanya laki-laki yang dapat merokok. Tubuh perempuan memang selalu
menjadi komoditas publik dan bahkan ia sendiri tidak dapat menggunakan atau
menentukan kehendaknya atas tubuhnya sendiri. Seks juga menjadi
tema dalam kegiatan politis, dipakai dalam kampanye ideologis tentang moralitas
atau penanggungjawaban. Secara umum dalam pengaitan tubuh dengan populasi, seks
menjadi sasaran utama bagi kekuasaan yang disusun di sekitar pengelolaan
kehidupan daripada kematian[15].
Sehari-hari Susi memang
tampil apa adanya. Baju koleksinya yang biasa saja. Bos perusahaan penerbangan yang kini
mengoperasikan 49 pesawat itu hanya menggunakan rok santai, kadang celana
selutut. Rambut digelung dengan jepitan ke atas. Tanpa riasan[16].
Susi telah mendekonstruksi mitos selama ini bahwa pemimpin perempuan harus
tampil cantik dengan riasan dan berpenampilan feminim dengan tutur kata yang
dijaga sangat ketat. Susi telah berhasil keluar dari citra baku tersebut.
Ø Kepemimpinan
yang pro rakyat (dekonstruksi nasionalisme)
“Saya menerima
jabatan ini bukan karena ingin kaya, apalagi ingin populer[17]. Saya sudah menggeluti bisnis perikanan selama 33 tahun. Mulai dari
bawah. Saya tahu apa problemnya, kendalanya, saya pikir, saya bisa do something. Saya menghargai keberanian
Pak Jokowi untuk mengangkat orang seperti saya, yang tidak tamat sekolah, untuk
menjadi anggota kabinetnya. Saya dan Pak Jokowi ada persamaan karakter. Kami
tidak suka hal yang normatif. Kami maunya kerja. Komitmen penuh pada tanggung
jawab. Meskipun begitu, bukan berarti saya merasa paling tahu. Kementerian
Kelautan dan Perikanan ini besar. Yang diurus banyak. Praktis salah satu core
visi Pemerintahan Jokowi soal kemaritiman ada di kementrian ini. Besar tanggung
jawabnya. Jadi, saya siap dan selalu mau untuk belajar.” Demikian
pernyataan lugasnya. Dapat kita simak pernyataan diatas hendak menegaskan posisi
Susi sebagai pembantu presiden Jokowi. Sebagai pimpinan di Kementrian Kelautan
dan Perikanan, visi Susi adalah: agar pemerintahan Jokowi bisa menyejahterakan
nelayan dan masyarakat yang hidup di pesisir, nelayan laut lepas, nelayan yang
bekerja di pembudidayaan. “Kita harus
menjadi tuan rumah di laut kita sendiri. Tujuh puluh persen wilayah Indonesia
itu laut. Kok ekspor hasil laut kita kalah dibandingkan dengan Thailand dan
Malaysia?”. Pemerintahan Jokowi, kata Menteri Susi akan mengubah paradigma
konsentrasi pembangunan yang selama ini fokus ke daratan. “Lautan adalah sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, renewable.
Begitu juga sektor perikanan non laut. Yang juga penting dijaga adalah
bagaimana memanen hasil laut, penangkapan ikan, dilakukan secara terukur, tanpa
mengeruk habis saat ini. Sustainability
dalam membangun ekonomi termasuk di kelautan dan perikanan sangat penting.
Menjaga kelestarian lingkungan menjadi upaya simultan,” kata Susi. Susi
merasa tak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan para eselon 1, yang sudah
ditemuinya dalam dua hari pertama kepemimpinannya. “I don’t feel inferior.
Kita diskusinya terbuka. Tidak selalu
akademis. Saya merasa eselon 1 menerima saya secara sejajar, we are equal. Ya tentu saya siap
belajar. Udah nggak sekolah, masak nggak mau belajar? Tapi saya punya
pengalaman nyata. Mereka menghargai itu.” Melihat pernyataan tegas dan
komitmen Susi diatas masihkah kita meragukan rasa nasionalismenya?
Ø “I am a proud single Mom”
(dekonstruksi status pernikahan)
Susi bahagia memiliki 3 orang anak dan seorang
cucu berumur 8 tahun. Dalam hal asmara,
Susi tak ragu bercerita bahwa ia telah menikah sebanyak tiga kali[18]. “Dari tiap suami,
saya masing-masing mendapat seorang anak,” katanya. Pernikahan dengan teman sepermainannya
pada tahun 1983 tak bertahan lama. Perkawinan itu memberinya Panji Hilmansyah
(31 thn), putra sulung, yang kini telah menikah. Pernikahan kedua bersama Daniel Kasier tahun 1992
dan dianugerahi puteri bernama Nadine Pascale Kasier (22 thn) dan pernikahan
terakhir bersama Christian von Strowberg dikaruniai
anak Alvi Xavier (13 thn). Ia sadar kehidupan pribadinya tidak dapat menjadi
panutan tetapi dibalik itu semua ia tetap bangga sebagai seorang ibu. Sampai
sekarang ia tetap berkomunikasi secara baik dengan mantan-mantan suaminya.
III. Membangun
kembali citra kepemimpinan di Indonesia
Era pemerintahan Jokowi-JK
menandai tibanya babak baru kepemimpinan yang demokratis di Indonesia karena
mereka lahir dari proses pemilihan langsung ketika masyarakat sudah sejak lama
sangat merindukan sosok pemimpin yang berpihak dan mengerti isi hati wong cilik. Jokowi-JK mengusung Nawa Cita sebagai konsep pembangunan
Indonesia yang pro-rakyat dan untuk itulah Kabinet Kerja dibentuk untuk
merealisasikan apa yang dicita-citakan melalui Nawa Cita. Kabinet ini memiliki
semboyan kerja, kerja dan kerja
sebuah terobosan yang berupaya keras meruntuhkan wacana selama ini bahwa para
pejabat publik hanya menyengsarakan rakyat dengan berfoya-foya menikmati
fasilitas negara, menumpuk kekayanan demi kepentingan diri sendiri, korupsi dan
parasit. Pada kabinet inilah Susi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Mari
menengok beberapa kebijakan menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus
SMU ini sebagai sebuah
gebrakan dan citra baru kepemimpinan di Indonesia:
v Hari pertama berkantor di Kementrian Kelautan dan Perikanan
Hari pertama menjadi menteri, Susi melakukan
sidak naik turun tangga. Sekarang dia menggunakan celana panjang sebagai
busana kerja, menutupi tato di kaki. Tato yang keren sebenarnya. Tapi dia
paham, masyarakat masih sulit menerima. Meskipun tato itu sudah ada jauh
sebelum Susi menerima jabatan menteri.
v Susi tak mau dipanggil “Ibu Menteri”.
“Kalau dipanggil Ibu
Menteri, saya nggak nengok. Nggak ngeh.
Kalau Ibu Susi, pasti nengok,” ujarnya.[19]
Media nakal-nakal ya?” Susi melanjutkan, “Mengapa yang dikorek-korek selalu
masalah pribadi saya? Tolong disampaikan, media please help me, instead of
bullying me. Help me to do my job.” Sebuah kerendahan hati yang sangat
langka dimiliki para pejabat publik yang sangat suka mendapat penghormatan atas
jabatannya.
v
“Saya harap kita
bisa bekerja keras siang dan malam untuk membangun kementerian ini dan
menyejahterakan nelayan. Siap bekerja siang malam dengan saya?”
Ucapan Susi saat acara serah terima jabatan ini
disambut senyum seribuan karyawan yang memenuhi aula Gedung Mina Bahari 3, di
belakang kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan tersebut.
v
Gebrakan Susi ditandai dengan
memajukan jam kerja di lingkungan kementeriannya
Jam kerja pegawai dimajukan dari pukul 08.00 wib menjadi
pukul 07.00 wib, sehingga karyawan bisa pulang lebih cepat, pukul 15.00 wib.
Alasan Susi, dengan berangkat lebih pagi dan pulang lebih siang, karyawan dapat
menghindari kemacetan. Datang ke kantor lebih pagi dalam keadaan segar dan sore
hari sudah di rumah untuk punya lebih banyak waktu untuk keluarga. “Semua profesional. Mereka bekerja keras,
kerja lari cepat. Saya ingin di KKP juga begitu.”
v
Moratorium perizinan kapal besar
awal November 2014
Aksi ilegal fishing yang selama ini dilakukan
merugikan negara sebanyak Rp.300 trilyun setiap tahunnya oleh karena itu Susi
menerapkan kebijakan moratorium perizinan kapal besar sehingga berdampak
positif antara lain nelayan kecil dapat bebas menagkap ikan. Susi mengeluarkan kebijakan menghentikan
sementara (moratorium) izin kapal baru dan mengkaji ulang seluruh izin tangkap
kapal ikan di atas 30 Gross Ton (GT) selama 6 bulan ke depan. Aturan yang sudah
ditandatangani Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu melibatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa instansi lain.
v
Penenggelaman kapal-kapal asing yang
berkeliaran menangkap ikan dan hasil laut di perairan Indonesia
atas instruksi Jokowi
Dilaporkan Susi bahwa sebanyak 22 kapal dari Tiongkok (07 Desember 2014) telah ditangkap dan 3
kapal dari Vietnam telah ditenggelamkan. Susi memprotes keras kapal-kapal asing
milik Tiongkok yang berkeliaran di perairan Indonesia bahkan dengan memakai
bendera Indoneisia. Akibat kebijakan ini negara-negara asing mulai ketar-ketir
memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin.
v
Susi berencana stop impor garam
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia sebagai
penghasil garam malah mengimpor garam dari negara lain. Hal ini tentu saja
merugikan petani garam negeri sendiri pasalnya garam lokal tak laku dibanding
garam impor. Dalam waktu dekat Susi siap untuk menghentikan impor garam[20]. Untuk memenuhi kebutuhan garam dengan kualitas bagus bagi
industri, Susi akan melatih produsen garam lokal agar menghasilkan garam dengan
kualitas terbaik.
Tigapuluh tahun lebih bekerja keras mulai dari menjadi
pedagang ikan di pasar, jatuh bangun dalam bisnis ikan dan trasportasi udara
serta pernikahan yang gagal membuat Susi selalu tampil tegar. Jabatan menteri
yang tak pernah ia mimpikan itu menjadi sebuah tantangan baru dalam hidupnya.
Kehadirannya memberi warna baru dalam Kabinet Kerja Jokowi dan khususnya
kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia. “Saya sudah bilang, kalau saya tidak nyaman karena banyak ditekan dan
harus melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani, saya akan tinggalkan
posisi ini,” kata Susi. Nothing to loose. Dalam Buku Surat dari dan untuk Pemimpin terbitan
Tempo Institute, Susi menggambarkan karakter dirinya. “Menjadi
orang dengan pikiran merdeka, itulah saya,” katanya. “Saya
masuk dunia bisnis yang keras,” katanya kemudian. “Tak bisa tidak, saya harus
berpikir merdeka. I can only lead if I have free mind,” katanya lagi.
Oleh karena itu mengapa kita
terus mempersoalkan menteri Susi yang
perokok, bertato, dan tidak lulus SMU? Sementara masih banyak pejabat yang
tidak perokok, tidak bertato dan berpendidikan tinggi tetapi melakukan korupsi,
penindasan struktural dan menyengsarakan rakyat? Marilah kita menerima secara
terbuka kehadiran menteri Susi dan sebagai masyarakat Indonesia mendukung
pemerintahan Jokowi-JK bersama menteri Susi melalui kerja, kerja, dan kerja. Mari kita sambut dengan gembira ketika
Susi mengkampanyekan makan ikan terutama untuk anak-anak kita agar sehat dan
menghargai hasil kerja nelayan kita.
Matanya berkaca-kaca saat menerima ucapan selamat dari
pejabat, relasi dan kawan yang hadir kemarin. Perlahan air matanya makin deras
mengalir. Dia memeluk erat satu persatu, termasuk mantan suaminya, Daniel
Kaiser. “Kalian semua hebat, terima kasih
selama ini sudah mendukung saya,” bisiknya sambil mengusap air mata dengan
ujung selendang”[21].
Selamat berjuang melayani masyarakat Indonesia ya Ibu menteri, doa kami
menyertaimu selama 5 tahun kedepan sampai selesai menunaikan tugasmu mensejahterakan
masyarakat Indonesia khususnya nelayan yang selama ini miskin dan terbuang di
negerinya sendiri.
IV.
Kesimpulan
Setelah
menguraikan fenomena menteri Susi sebagai sebuah upaya dekonstruksi citra
kepemimpinan di Indonesia diatas, maka tulisan ini akhirnya tiba pada beberapa
kesimpulan yaitu sebagai berikut:
a.
Masyarakat Indonesia masih hidup dalam mitologi
kepemimpinan yang lebih menekankan kepada fisik yang kelihatan baik seperti
berpendidikan tinggi, bersih, memiliki keluarga utuh, sehat jasmani, dan
mementingkan penampilan yang rapi itulah yang paling sah dan benar.
b.
Kepemimpinan perempuan selalu dipersoalkan dan
bias gender
c.
Fenomena menteri Susi sebagai upaya
mendekonstruksi citra kepemimpinan Indonesia yang kaku dan patriakhis sehingga menimbulkan
citra baru kepemimpinan Indonesia yang lepas dari bayang-bayang metafisika.
d.
Kepemimpinan Susi meski baru beberapa bulan
sudah memberikan bukti yang signifikan bahwa ia pro rakyat khususnya wong
cilik. Ini membuktikan rasa nasionalisme Susi yang dipersoalkan patah dengan
sendirinya hanya karena ia pernah menikah dan memiliki anak dari pria
berkewarganegaraan asing.
Sumber
Rujukan
Buku:
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida,
Yogyakarta: LKis, 2006
Hardiman, F. Budi, Melampaui
Positifisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Noris, Christian dalam David Wood
ed), Derrida: A Critical Reader, USA: Blackwell Publisher Inc, 1992
Artikel dan berita online:
Berita Okezone.com pada Senin, 27 Oktober 2014 - 11:22 wib, oleh Fahmi
Firdaus-Okezone, akses tanggal 09 Desember 2014
http://bisnis.liputan6.com/read/2143370/menteri-susi-siap-stop-impor-garam, akses tanggal 12 Desember 2014
http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic, akses tanggal 09 Desember 2014
http://www.femina.co.id/waktu.senggang/selebritas/jodoh.ketiga.susi.pudjiastuti/006/002/1112
http://www.merdeka.com/peristiwa/beredar-foto-menteri-susi-blusukan-naik-motor-laki.html
Kasali, Rhenald, Tiga Kata Rhenald Kasali Untuk Susi
Pudjiastuti, Kompas online akses tanggal 9 Desember 2014
Lubis, Uni, Kontroversi Ibu Menteri Susi Pudjiastuti, dalam 100
Hari Jokowi JK, Ekonomi
dan Bisnis, Inspirasi, Leadership, Politik, 30 Oktober 2014, Uni Lubis.com, akses tanggal 09 desember 2014
Wikipedia Indonesia, Menteri Susi Pudjiastuti, akses tanggal
30 November 2014
[1]http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic
[3]Uni Lubis, Kontroversi
Menteri Susi Pudjiastuti dalam 100
Hari Jokowi JK, Ekonomi
dan Bisnis, Inspirasi, Leadership, Politik, 30 Oktober 2014, laman Uni Lubis.com
[4]ibid
[5]http://www.merdeka.com/peristiwa/beredar-foto-menteri-susi-blusukan-naik-motor-laki.html, akses 12 Desember 2014
[6]Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta:LKis, 2006), hal 2
[7]F. Budi Hardiman, Melampui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2003), ha183
[8]Al-Fayyadl, ibid, hal 16-17
[9]Ibid, hal 111
[10]ibid, hal 146-147
[11]Lubis, ibid, hal 1
[12]Biografi selengkapnya
dapat disimak dalam Menteri Susi Pudjiastuti di situs Wikipedia Indonesia,
akses pada 30 November 2014
[13]Rhenald Kasali, dalam Tiga Kata Rhenald Kasali Untuk Susi
Pudjiastuti, Kompas online akses tanggal 9 Desember 2014
[14]Ibid, Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri,
fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran
dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu", menurut
Rhenald, adalah fondasi penting bagi pembaruan dan kehidupan yang produktif. “Manusia
itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah,
mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan penuh
kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum
tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa
menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang
produktif,” simpul Rhenald.
[15]Michel Foucault, Sejarah
Seksualitas dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 1997
[16]Uni Lubis
[17]ibid
[18]http://www.femina.co.id/waktu.senggang/selebritas/jodoh.ketiga.susi.pudjiastuti/006/002/1112
[19]ibid
[20]http://bisnis.liputan6.com/read/2143370/menteri-susi-siap-stop-impor-garam
[21]Lubis, ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar