I. Pendahuluan
Sepertinya tahun 2014 ini adalah “tahunnya
perempuan” begitu kesimpulan beberapa kalangan. Saya sangat setuju
dengan kesimpulan ini sebab ada tiga peristiwa bersejarah penting yang perlu
dicatat dalam perjuangan kaum perempuan menegakkan keadilan dan kesetaraan di
Indonesia yaitu pengangkatan 8 orang perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK
periode 2014-2019, terpilihnya Prof. Ir. Dwikorita Karnawati MSc. PhD sebagai
Rektor UGM (Universitas Gajah Mada) periode 2014-2017 dan terpilihnya Pdt. Dr.
Henriette Tabita Lebang sebagai Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia) periode 2014-2019. Tiga peristiwa penting ini mencatat sejarahnya
masing-masing di ranah pemerintahan, pendidikan dan keagamaan (baca gereja). Mari
melihat sejarah apa yang dibuat yaitu: pertama,
8 orang menteri perempuan era Presiden Jokowi ini memecahkan rekor menteri
perempuan terbanyak dari periode sebelum-sebelumnya semenjak negara Indonesia
ini berdiri[1], kedua, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati Msc.
Phd adalah rektor perempuan pertama sepanjang sejarah UGM berdiri, dan terakhir, Pdt. Dr. Henriette Tabita
Lebang adalah Ketua Umum perempuan pertama sepanjang sejarah berdirinya PGI di
Indonesia. Sungguh sebuah fakta yang sangat menarik bukan? Sebuah pencapaian sejarah
yang patut untuk kita rayakan bersama.
Adapun 8 orang menteri perempuan dalam
Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019 dapat disimak profil singkatnya yaitu:
ü
Retno
Lestari Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri. Retno adalah menteri
Luar Negeri perempuan pertama di Indonesia. Retno sebelumnya menjabat sebagai
Dubes RI di Belanda. Dia adalah sosok yang berprestasi. Banyak hal yang sudah
dicapai Retno selama di Belanda, salah satunya adalah pengakuan kemerdekaan
Indonesia. Retno juga seorang diplomat handal yang sudah kaya pengalaman di
bidang luar negeri. Retno adalah lulusan Universitas Gadjah Mada yang
melanjutkan jenjang S2 di Haagsche Hooge School, Belanda. Perempuan berusia 51
tahun ini kemudian memiliki karier yang panjang sebagai diplomat.
ü
Yohana
Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak. Yohana
adalah putri Papua kelahiran Manokwari, 1 Oktober 1958. Tahun 1985, dirinya
melanjutkan pendidikan Sarjana Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP
Universitas Cenderawasih. Yohana menyabet gelar Master pada 1994 dari Faculty
of Education, Simom Fraser University British Colombia, Kanada dan menyabet
doktor dari Universitas Newcastle di bidang pendidikan keguruan di tahun 2007.
Di tahun 2013, Prof Yohana mendapat penghargaan dari Duta Besar Australia untuk
Indonesia Greg Moriarty, karena menjadi salah seorang paling berprestasi dalam
penerima beasiswa ADS (Australian Development Scholarship). Kini, selain menjadi
profesor pertama dan profesor perempuan pertama dari Papua, Yohana juga menjadi
perempuan pertama dari Papua yang menjadi menteri.
ü
Susi
Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Kendati tak lulus SMA, namun
Susi sudah membuktikan ulet sebagai pengusaha di bidang perikanan hingga
penerbangan selama 33 tahun. Hal ini dijelaskan Susi sendiri saat jumpa pers
mengundurkan diri dari jabatan di perusahaannya. Ia sempat menyinggung tentang
latar belakang pendidikannya. "Saya
nggak berpendidikan sedangkan kebanyakan kabinet profesor. Orang boleh
berpikir, tapi kalau boleh saya mengklaim seorang profesional," kata
Susi saat jumpa pers di hotel Grand Hyatt, Jalan MH Thamrin, Jakpus, Minggu
(26/10/2014). Saya bekerja 33 tahun dan membuktikan bahwa sebuah dedikasi yang
total dan committed dan semua passion membuat perusahaan yang cantik dan need
dan usefull untuk masyarakat Indonesia," sambungnya. Tak cuma itu
prestasinya, dalam bidang sosial kemanusiaan, dua hari setelah gempa tektonik
dan tsunami Aceh melanda Aceh dan pantai barat Sumatera pada 26 Desember 2004,
Cessna Susi disebut di Wikipedia, adalah pesawat pertama yang berhasil mencapai
lokasi bencana untuk mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di
daerah terisolasi.
ü
Puan
Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan. Puan yang kelahiran 6 September 1973 menjabat Menko dalam usia 41
tahun. Berarti, dia menjadi menteri koordinator perempuan termuda yang pernah
ada. Sebelumnya, Menteri Koordinator perempuan dijabat Sri Mulyani, yang
menjadi Menko Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu I, yang menjabat sejak
13 Juni 2008. Saat menjabat Menko Perekonomian, Sri Mulyani yang kelahiran 26
Agustus 1962 itu, berusia 46 tahun. Di DPR periode 2009-2014 sebelumnya, Puan
bertugas di Komisi I menggantikan posisi Tjahjo Kumolo
ü
Rini
Mariani Soemarno, pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan di
zaman Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tahun 2001-2004. Di Kabinet Kerja,
Rini Soemarno menjabat Menteri BUMN. Rini yang pernah menjadi Kepala Staf
Kantor Transisi Jokowi-JK adalah lulusan Wellesley College, Massachusetts. Wanita
56 tahun ini sibuk berbisnis dengan menjadi Presiden Direktur PT Kanzen Motor
Indonesia pada 2005 dan Komisaris Aora TV sejak 2008.
ü
Khofifah
Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial. Khofifah pernah menjabat Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di masa Presiden
Abdurrahman Wahid yang menjabat 1999-2001. Kini, Khofifah dipercaya Presiden
Jokowi menjabat Menteri Sosial. Kofifah yang merupakan juru bicara Tim
Pemenangan Jokowi-JK ini merupakan lulusan S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia. Sebelumnya, Afifah merupakan anggota DPR fraksi
PPP tahun 1992-1997. Kemudian ia masuk ke PKB dan menjadi anggota DPR dari
fraksi partai itu dari tahun 1998.
ü
Siti
Nurbaya Abubakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Siti Nurbaya
merupakan Ketua DPP Partai Nasional. Sebelum ditugaskan sebagai menteri di
Kabinet Kerja Jokowi-JK, wanita 58 tahun tersebut pernah bertugas di Bappeda
(Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Lampung sampai menjadi Sekjen
Kemendagri pada 2001-2005. Istri dari Rusli Rachman ini memiliki gelar sarjana
dan doktor dari IPB, sementara gelar master dari International Institute for
Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Enschede, Belanda.
ü
Nila F
Moeloek sebagai Menteri Kesehatan. Sebelum akhirnya bergabung dalam Kabinet
Kerja Jokowi-JK, Nila pernah menjadi nominasi MenKes pada lima tahun silam.
Wanita 65 tahun ini pun menjadi menteri tertua di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ia
mengikuti jejak sang suami, Farid Moeloek yang juga pernah menjabat di posisi
yang sama. Prof Dr Nila F Moeloek, SpM (K) merupakan ahli penyakit mata dan
guru besar Fakultas Kedokteran UI. Sebelumnya, Nila memiliki kesibukan sebagai
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami) dan Ketua Umum Dharma Wanita
Persatuan Pusat, serta mengajar di Departemen Mata, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Majelis Wali Amanat (MWA) akhirnya memutuskan Prof Ir
Dwikorita Karnawati, MSc, PhD, menjadi rektor Universitas Gadjah Mada (UGM),
menggantikan Pratikno yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara.
"Ini menjadi catatan sejarah. Sebab,
setelah 65 tahun berdiri, Ibu Dwikorita menjadi rektor perempuan pertama UGM,"
ujarnya. Dwikorita Karnawati merupakan sahabat karib Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti. Bahkan, saat di SMA, keduanya duduk satu bangku[2].
"MWA sudah musyawarah dan siang ini
telah mencapai kesepakatan. Ibu Dwikorita dipilih menjadi Rektor UGM
menggantikan Bapak Pratikno," ujar Ketua MWA UGM Prof Dr Sofian
Effendi, Sabtu (22/11/2014) siang. Ia terpilih sebagai rektor melalui sidang
pleno Majelis Wali Amanat (MWA) dalam penetapan rektor antarwaktu. Ia terpilih
melalui musyawarah mufakat 19 anggota MWA. Dari 23 anggota MWA, empat di
antaranya berhalangan hadir, yaitu Sri Sultan HB X, Jenderal (purn) TNI Luhut
Pandjaitan, Hery Zudianto, dan Sri Suparjatie. Selanjutnya ditetapkan oleh
Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada pada 22 November 2014 lalu, sebagai
Rektor UGM masa bakti 2014-2017 dan dilantik pada 24 November 2014. Sebelumnya
ia pernah menjabat sebagai Wakil Rektor (Warek) Bidang Kerja Sama dan Alumni. S1nya
di Teknik Geologi, FT Universitas Gadjah Mada (1988), S2 di Engineering Geology,
Leeds University, Inggris (1992) dan S3 di Engineering Geology, Leeds
University, Inggris (1996). Prestasinya anatraa lain, Best Paper and
Presentation in the International Association of Engineering Geology
conference, Nottingham, UK., Sept 2006, Delphe (Development of Partnership in
Higher Education) – British Councilwith respect to the Research entitled :
Seismicity and Landslide Hazard Mapping for Community Empowerment in
Yogyakarta, Indonesia (2007-2010), International Program on Landslide-UNESCO Recognition
with respect to the Research entitled Landslide and multi geohazard mapping for
community empowerment in Indonesia (2008-2010). Dwikorita dikenal sebagai pakar
dan pengamat masalah kerentanan tanah akibat bahaya gempa bumi. Salah satu
penelitiannya adalah membuat zona atau peta daerah Bantul yang rawan terhadap
gempa bumi dan tingkat intensitas kerentanannya pasca gempa 27 Mei 2006. Ia
dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM, bersama suaminya Prof. Ir.
Sigit Priyanto, M.Sc., Ph.D.an Alumni ini sekaligus mengukir sejarah sebagai
rektor perempuan pertama UGM[3].
Sidang Raya XVI Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) hari Jumat (14/11)
memutuskan Pendeta Dr Henriette Tabita Lebang MTh dari Gereja Toraja sebagai
Ketua Umum PGI periode 2014-2019, menggantikan Pendeta Dr Andreas Anangguru
Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba yang habis masa jabatannya. Lebang, demikian
ia biasa dipanggil, tercatat sebagai perempuan pertama yang menjabat Ketua Umum
PGI sejak berdiri tahun 1950. Dalam sidang panitia nominasi Sidang Raya XVI
PGI, Eri Lebang memperoleh 66 suara. Sedangkan, kandidat lain Richard Daulay
dari Gereja Metodis Indonesia memperoleh 23 suara, John Ruhulesin dari Gereja
Protestan Maluku 23 suara, Albertus Patty dari Gereja Kristen Indonesia
memperoleh 11 suara, dan Langsung Sitorus dari Gereja Huria Kristen Indonesia
dengan 2 suara. Eri Lebang lahir pada 11 Oktober 1952 di Ujung Pandang -sekarang
Makassar. Dia menikah dengan Ralph Donald Manahara Hutabarat yang sekarang
sudah meninggal dan memiliki dua orang anak, Dorothea Marannu dan Cita
Lanrianna. Eri Lebang meraih gelar sarjana muda Teologi di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta tahun 1975 dan Sarjana Teologi pada 1977. Kemudian, mengambil
program Master of Arts di Presbyterian School of Christian Education (PSCE)
Ricmond Virginia USA pada 1987 dan meraih gelar Doctor of Education juga di
PSCE pada 1991. Sejak 1978, Eri Lebang mengawali pelayanannya dengan menjadi
staf di Lembaga Pembinaan Kader (LPK) Gereja Toraja. Lalu duduk di Pengurus
Pusat Gereja Toraja (PPGT), dan menjadi Ketua I Badan Pekerja Sinode (BPS)
Gereja Toraja juga Ketua Badan Pembinaan Warga Gereja di BPS Gereja Toraja.
Selama 2006 - 2010 dia menjadi Direktur Institut Teologi Gereja Toraja. Pada
1980 Eri mulai melayani di PGI sebagai asisten Sekjen, dilanjutkan dengan
menjadi Ketua Departemen Perempuan PGI dari 1984 hingga 1986. Pelayanan Asianya
dimulai pada tahun 1991 di Dewan Gereja-gereja di Asia. Eri Lebang menjabat
Associate General Secretary of the Christian Conference of Asia (CCA) hingga
2001. Saat ini Eri Lebang menjabat Sekretaris Jenderal di Dewan Gereja-gereja
di Asia sampai 2015. Posisi ini menjadikan dia sebagai perempuan pertama di
Asia yang menjadi pimpinan tertinggi CCA. Selain aktif di CCA, Eri Lebang juga
melayani di World Council of Churches/WCC (Dewan Gereja Sedunia). Sekarang, dia
anggota Central Committee dan Executive Committee WCC. Eri Lebang juga pernah
menjadi anggota Joint Working Group WCC dan Pontifical Council for Christian
Unity, Vatican pada tahun 2008-2013[4].
Demikianlah sekilas profil
kedelapan menteri perempuan Kabinet Kerja Jokowi yang dihimpun dari berbagai
sumber, Prof. Dwikora sebagai Rektor Perempuan pertama UGM dan Pdt. Dr. Ery
Lebang sebagai Ketua Umum PGI perempuan pertama. Semoga mereka dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik membawa Indonesia menjadi negara yang adil,
setara, damai dan rumah bersama bagi semua orang. Menyikapi sejarah penting yang
dibuat oleh mereka semua sebagai kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia
maka tulisan ini akan menguraikan seputar perjuangan kepemimpinan perempuan di
Indonesia dan harapan kedepannya.
II. Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai
tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja"
dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau
praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari perannya
memberikan pengajaran/instruksi[5].
Itu berarti kepemimpinan adalah proses hidup dan kerja yang baik laki-laki
maupun perempuan dapat memilikinya karena ia dapat dilatih. Bukan sesuatu yang
ascribed status (didapat dari lahir)
tetapi achieved status (didapat karena
usaha dan kerja), sehingga kepemimpinan
terbuka bagi siapa saja meskipun ada juga assigned status. Assigned status
adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat
yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan
masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat,
sesepuh, dan sebagainya. Menjadi pertanyaan selanjutnya, jika demikian maka ada
apa dengan kepemimpinan perempuan Indonesia?
Jika menengok sejarah lampau
sebenarnya Indonesia terbiasa dipimpin baik laki-laki maupun perempuan namun masalah
muncul kemudian ketika perempuan ingin mencapai posisi dalam struktur
kepemimpinan baik tingkat nasional maupun daerah. Alasan yang sering
dikemukakan adalah bagaimana mungkin kita dipimpin oleh seorang pejabat
perempuan yang mobilitasnya terbatas karena urusan rumah tangga?. Status perempuan
sebagai ibu rumah tangga seringkali menjadi alasan untuk menolak kepemimpinan
seorang perempuan. Seorang pejabat tinggi bahkan pernah mengatakan bagaimana
mungkin kita dipimpin oleh seorang “ibu
rumah tangga” ketika Megawati diangkat menjadi Presiden ke-5 setelah
pemakzulan Gud Dur. Sebutan dan pengertian sebagai ibu rumah tangga meneguhkan
domestifikasi perempuan yang berdiri di seputar kasur, sumur dan dapur.
Sedangkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga melenggang bebas tanpa beban
ganda tersebut. Belum lagi nilai-nilai budaya patriakhi dan tafsir bias agama terhadap
perempuan yang semakin melanggengkan kepemimpinan laki-laki sebagai yang utama
dan ideal. Menyikapi hal tersebut maka berikut ini uraian bagaimana citra
kepemimpinan perempuan yang selalu dipandang negatif, faktor-faktor penghambat,
serta pandangan agama-agama yang turut mempengaruhi kepemimpinan seorang
perempuan.
Ø
Citra Kepemimpinan Perempuan
Menurut
hasil penelitian Prapancha Research (PR)
dalam pantauan terbarunya mendapati citra perempuan dalam dunia politik kita
cenderung buruk. Kenapa? Selain belum adanya perempuan yang benar-benar
membekas dalam ingatan publik sebagai tokoh politik berprestasi, beberapa
skandal seksual politisi (laki-laki) yang marak diberitakan belakangan ini
memperburuk citra perempuan dalam politik. "Saat
sejumlah nama politisi perempuan paling menonjol digabungkan sekalipun,
jumlahnya tetap tak sepadan dengan satu tokoh politik pria yang menonjol,"
kata analis PR, Cindy Herlin Marta. "Selain
angka perbincangan perihal nama-nama kebanyakan politisi perempuan ini rendah,
mereka kebanyakan hanya disinggung di akun-akun Twitter media sebagai pejabat
formal yang sedang mengurusi kebijakan ini-itu, atau sedang tersandung kasus
dugaan korupsi," ujar Cindy. Berbeda halnya dengan politisi pria.
Sebagai contoh, Jokowi, Jusuf Kalla, atau Mahfud M. D., memiliki citra kuat
yang sangat mudah terpantau dalam perbincangan-perbincangan di Twitter. Tokoh-tokoh
ini cenderung diingat publik sebagai sosok yang mempunyai karakter, berpeluang
membawa perubahan, dan tak jarang terpantau diidam-idamkan menjadi pemimpin
Indonesia[6].
Apa yang terjadi pada kasus Angelina Sondakh tentu menambah daftar panjang
kecemasan dan sinisme publik akan kepemimpinan perempuan bahwa ketika perempuan
berkuasa ia hanya akan menjadi agen korupsi atau keluhan terhadap politisi Andy
Nurpati yang begitu keras diperjuangkan gerakan perempuan untuk duduk di KPU
toch mengecewakan karena ia tergoda dengan jabatannya yang prestisius di partai
penguasa, Partai Demokrat kala itu. Begitu tidak adil menilai buruknya kepemimpinan
perempuan hanya berdasarkan dua contoh tersebut, sebab banyaknya koruptor
laki-laki dan politikus laki-laki bobrok tidak terlalu mendapat sorotan atau dipersoalkan.
Menarik
menyimak apa yang dianalisis Katoppo berikut ini. Agar dapat maju dalam suatu
masyarakat patriakhal, perempuan diharapkan menjadi seorang laki-laki, yaitu
berhenti menjadi yang lain, yang
penuh ancaman itu. Dalam bidang politik apakah itu politik gereja atau negara-kita
seringkali akan temukan bahwa jumlah kecil perempuan yang mencapai puncak
sering telah menjadi begitu kelaki-lakian sehinga mereka lebih merugikan
daripada menguntungkan usaha kaum perempuan untuk mencapai pembebasan. Beberapa
malahan akan bertindak diktator sedemikian rupa sehingga beberapa lelaki akan
mengatakan seraya membenarkan diri, bahwa ini hanya membuktikan bahwa “perempuan tidak pernah boleh diberikan
kesempatan memperoleh kekuasaan”. Mereka tidak menyadari adanya proses
psikologi yang membawanya[7].
Beban psikologis dan pengalaman sebagai seorang perempuan yang inferior pada
segala bidang kehidupan tentu tidak pernah mendapat perhatian ketika perempuan
menjadi seorang pemimpin. Wajar jika perempuan terlihat seolah berusaha menjadi
seperti kelelakian sebab ia memasuki dunia yang terbiasa dikendalikan dan
dihuni oleh laki-laki. Selama berabad lamanya dunia telah dipimpin dan
dikendalikan oleh laki-laki sehingga ketika perempuan memimpin dipandang
sesuatu yang ganjal dan tidak cocok. Perlu menjadi titik perhatian dan dukungan
adalah bagaimana perempuan leluasa untuk menjadi dirinya sendiri termasuk
ketika ia menjadi seorang pemimpin. Itulah hutang peradaban yang harus dibayar
terhadap perempuan.
ü
Faktor-faktor Penghambat
Faktor
penghambat seorang perempuan untuk berperan dan mengaktualisasikan dirinya menjadi
seorang pemimpin antara lain adalah karena proses
sosialisasi. Apa yang dimaksud dengan proses sosialisasi? Sosialisasi
berarti mengintegrasikan seorang anak dalam masyarakat. Proses sosialisasi ini
merupakan alat untuk mengkomunikasikan kelakuan yang pantas kepada seorang yang
baru dalam kelompok tertentu, misalnya keluarga, kelas sekolah atau anggota
gereja. Dalam proses sosialisasi ini seorang anak belajar bahasa, kebiasaan dan
nilai-nilai yang dihargai oleh keluarganya, sukunya bahkan kelompok lain dimana
ia berada. Berangsur-angsur anak ini menjadi biasa dengan bahasa serta adat
dari lingkungan da diintrodusikan dalam kebudayaannya. Dia merasa terdorong menyesuaikan
diri kepada apa yang diharapkan daripadanya, karena kelakuan yang pantas ini
menjamin penerimaannya dalam keluarga atau kelompok yang lain[8].
Dalam konteks budaya patriakhi maka perempuan sejak dari kecil disosialisasikan
untuk menjadi anak perempuan yang patuh dan diperlakukan lebih rendah atau nomor
dua dari saudaranya laki-laki. Faktor inilah yang cenderung secara psikologis
membuat perempuan minder dan merasa kepemimpinan itu tidak menjadi haknya
tetapi utama adalah untuk saudaranya laki-laki. Oleh karena itu maka tak jarang
para perempuan selalu menerima saja untuk menjadi kelas nomor dua atau dipimpin
oleh laki-laki.
Harga
diri adalah pegangan yang utama bagi manusia. Seorang individu dengan “ego strength” atau citra diri yang kuat
bertingkah laku berbeda dari seorang yang merasa minder. Sejak lahir kaum
wanita diberi kesan, bahwa mereka kelas dua. Mereka canggung, karena refleksi
dalam cermin interaksi sosial memberikan gambaran bahwa mereka kurang mampu.
Sikap minder ini sudah didalami dan tetapi mempengaruhi psikologi wanita[9].
Banyak perempuan ingin menjadi pemimpin tetapi terhambat karena masalah harga
diri dan citra diri yang rendah. Oleh karena itu dengan kepercayaan diri yang
kuat akan mendorong perempuan untuk menjadi seorang pemimpin pada bidang apapun.
Akan tetapi juga perlu tetap mewaspadai untuk tidak menjadi sombong atau
memiliki kepercayaan diri yang kelewat batas sehingga akhirnya berbuat diluar
batas kewenangannya atau malah menindas orang lain. Kalau sudah begitu apa
bedanya dengan kepemimpinan laki-laki?
ü
Kepemimpinan perempuan dalam Islam
Setidaknya
ada dua pendapat mengenai kepemimpinan wanita dalam Islam. Pendapat pertama
mengatakan bahwa wanita dalam Islam tidak bisa menjadi pemimpin dalam kehidupan
publik, sementara pedapat kedua menyatakan sebaliknya bahwa sejalan dengan
konsep kemitrasejajaran yang diajarkan Islam maka wanita boleh menjadi pemimpin
dalam kehidupan masyarakat atau dalam kehidupan publik. Pendapat pertama
bersifat konservatif dan pendapat kedua bersifat liberal.[10]
Pada umumnya pendapat pertama mendasarkan alasannya dengan analogi kepemimpinan
dalam ibadat yaitu sholat. Wanita tidak boleh memimpin sholat kecuali jika
semua pengikutnya adalah wanita. Keabsahan pengaitan kepemimpinan dalam sholat
dan masyarakat ini dapat dilihat jika melihat kedudukan Abu Bakar sebagai
pelanjut kepemimpinan Nabi Muhammad SAW antara lain karena ia yang pertama
diminta Nabi untuk menjadi imam sholat berjemaah di Madinah ketika Nabi sakit
menjelang saat-saat terakhirnya. Alasan lainnya adalah pada penciptaan wanita
dimana dalam surat An-Nisa ayat 1, dimana ada kata kunci Nafsin Wahidatin yang kemudian ditafsirkan bahwa Siti Hawa terbuat
dari tulang rusuk Adam. Penafsiran ini mengantarkan pemahaman bahw asudah sejak
awal penciptaannya wanita memang inferior dari laki-laki. Alasan lainnya masih
dalam surat An-Nisa ayat 34 yang mengatakan kalau laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian mereka (wanita) karena mereka telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.
Pendapat
kedua mendasarkan alasannya dengan penafsiran yang cukup terbuka pada ayat-ayat
tersebut. Bahwa tak ada satu katapun dalam Al-Quran yang menunjukkan Siti Hawa
dibuat dari tulang rusuk Nabi Adam karena baik Siti Hawa maupun Nabi Adam
keduanya tidak disebut dalam ayat tersebut. Kata NafsinWahidatin lebih tepat
diartikan sebagai species yang sama, artinya laki-laki dan perempuan dijadikan
dari species yang sama, yaitu sama-sama homo sapien. Kata afsun bentuk jamak dari nafsun
yang digunakan pada banyak tempat dalam Al-Quran semuanya tidak harus
berarti badan atau diri sebagian berarti
jenis, kaum atau bangsa. Tafsiran lain tentang surat An-Nisa ayat 34 menurut
Al-Hibri bahwa kata Qawwamun tidak harus berarti pemimpin tetapi arti lain bisa
menjadi pelindung atau penanggungjawab. Selain itu Qawwamun memang sebagian
adalah ascribed (pemberian dari lahir)
tetapi sebagian lagi adalah acquired (diperoleh). Karena kepemimpinan itu
diperoleh karena pria membelanjakan harta bendanya untuk perempuan. Perlu
dicatat disini bahwa peranan menafkahi itu acquired bukan ascribed karena kalau
tidak memiliki harta berarti tidak dapat berperan sebagai pemimpin. Ini berarti
kepemimpinan adalah sesuatu yang dilatih atau diupayakan bukan sesuatu yang
melekat sejak lahir. Itu berari masing-masing baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak kepemimpinan dalam kehidupan tergantung siapa yang berhasil
memperoleh kualitas itu[11].
Dalam
sejarah Islam terdapat beberapa perempuan yang berperan besar bagi kelangsungan
masyarakat Islam dengan kualitas-kualitas kepemimpinan meskipun tidak diakui.
Isteri Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah bukan hanya berperan dalam menenangkan
hati Nabi ketika cemas menerima wahyu pertama tetapi mensupportnya secara
materi sebab ia seorang pedagang. Wanita pedagang yang berjiwa independen itu
berdagang pada jalur Mekah-Syria yang ukuran waktu itu sangat jauh jaraknya
bahkan sampai sekarang dan menjadi jalur internasional. Itulah sosok wanita
Mekkah awal Islam. Pada periode Mendinah dikenal Siti Aisyiah salah seorang penutur
hadits-hadits Nabi. Sekitar 300 buah hadits nabi yang sekarang dicatat dalam
sahih Muslim dan Bukhari berasal dari penuturan
Siti Aisyiah. Ia juga ikut bergabung dengan pasukan Talhah dan Zubair
melawan Ali bin Abu Thalib dalam suatu peperangan yang disebut perang Jamal.
Ada juga Siti Hafsah yag dipercaya
menyimpan mushaf asli Al-Quran yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf Usmani
yang dibaca sampai sekarang. Suatu hal yang luar biasa pengaruhnya dalam
keberlangsungan sejarah Islam dalam pemeliharaan Al-Quran. Pada periode sajarah
Islam klasik dikenal juga Syajarat al Durr seorang penguasa Mesir, yang meraih
kekuaaan di Kairo pada tahun 1250 melalui keunggulan strategi dan militernya.
Ia dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin pasukan yang selalu mampu mengalahkan
musuh-musuhnya[12].
ü
Kepemimpinan perempuan dalam keKristenan
Dalam
agama-agama termasuk agama Kristen, teks dan tradisi biasa digunakan untuk
mendukung kemapanan atau status quo budaya, termasuk tema-tema yang berkata
bahwa perempuan diciptkan sesudah laki-laki (Kej 2), berdosa lebih dahulu dari
laki-laki (Kej 3 dan I Tim 2:13-14), bahwa perempuan harus tutup mulut di
gereja (I Kor 14, I Tim 2), menempatkan diri dibawah suami (Efesus 5).
Menyikapi teks-teks ini maka kaum feminis melakukan dua tanggapan ganda yaitu
melakukan reinterpretasi dan membahas teks-teks yang dilupakan yang mengungkapkan
perempuan dalam wawasan yang berbeda[13].
Lebih lanjut dijelaskan untuk tanggapan pertama tentang reinterpretasi, teks Kejadian 1-2 ditafsirkan ulang dan hasilnya
adalah penciptaan perempuan pada akhir pasal 2 mungkin saja bermakna bahwa
perempuan sederajat dengan laki-laki dan dalam eprjumpaand dengan ular sang
penggoda baik perempuan maupun laki-laki harus dipandang sama-sama
bertanggungjawab, sama-sama bersatu untuk tidak taat pada Allah. Nasihat Paulus
agar perempuan berdiam diri dalam 1 Kor 14 merupakan nasihat khusus untuk
mengatasi kekacauan dalam jemaat Korintus. Nasihat tentang perkawinan dalam
Efesus 5 sering dibahas dengan penekanan tema saling merendahkan diri (ayat 21)
yang mengawali nasihat tersebut (ayat 22-23). Tanggapan kedua yang diutamakan
adalah penekanan baru terhadap teks-teks yang nampanya berbicara positif
mengenai perempuan. Gal 3:28 adalah contoh yang sangat jelas: “Dalam hal ini tidak ada orang yahudi atau
orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan
karena kamu semua adalah satu didalam kristus Yesus”. Banyak feminis
Kristen yang melandaskan pandangannya tentang kedudukn perempuan dalam
keluarga, masayarakat dan gereja berdasarkan teks ini. Menurut mereka teks ini
melampaui pengekangan yang umumnya dipraktekkan gereja purba dan teks ini dapat
diterapkan utnuk kehidupan actual di dunia, tidak sekedar untuk keselamatan
pribadi.[14]
Peranan
para tokoh perempuan dalam Alkitab juga tidak dapat diabaikan dalam konteks
kepemimpinan. Peranan tokoh seperti Miryam, Debora, Ester, dll dalam PL serta
Maria, Marta, perempuan-perempuan di kubur Yesus, Priskila, Lydia, dll
digunakan untuk menunjukkan bahwa perempuan dapat memimpin dan berwibawa dalam
komunitasnya. Sikap Yesus terhadap perempuan pun sangat mengasihi dan
menghargai mereka. Yesus serius menggapi dan berbicara dengan mereka, sebuah
tindakan revolusioner pada zamannya. Sikap ini kemudian membentuk sikap kritik
terhadap sistim patriakhi baik pada zaman gereja purba maupun pada masa kini.
Cerita perjumpaan Yesus dan perempuan Samaria di tepi sumur (Yoh 4) diberi
penekanan dimana Yesus untuk pertama kali menyatakan kemesiasanNya kepada
simbol orang yang tersisih, yakni perempuan yang reputasinya jelek dan seorang
Samaria[15].
Sejarah
panjang kaum perempuan dalam memperjuangkan hak untuk menjadi imam tertahbis di
gereja juga dapat memberi kita banyak pelajaran berharga. Sampai dengan tahun
1970an hanya laki-laki yang sudah dibaptis bisa secara sah menerima tahbisan
didalam gereja-gereja yang menyangkut imamat sakramental. Pada tahun 1970an
semakin banyak perempuan di dalam gereja-gereja Katolik Roma, Episkopal
Protestan dan Gereja Persekutuan Anglikan yang menyuarakan keinginan mereka
ditahbiskan karena mereka merasakan suatu panggilan Allah untuk melayani
jemaat-jemaat mereka sebagai seorang imam. Tahbisan kanonikal kaum perempuan
didalam Gereja Persekutuan Anglikan berlangsung di Hongkong tahun 1971 dan di
Kanada tahun 1976. Tahun terakhir adalah tahun yang sama bagi Gereja Episkopal
dalam sidang rayanya menyetujui tahbisan perempuan. Ketika kaum perempuan
Anglikan dan Episkopalian mengupayakan tahbisan mereka, kaum perempuan Katolik
Roma juga memulai seruan untuk menahbiskan perempuan sebagai imam. Penting
untuk memperhatikan pernyataan Paus Yohanes XXIII pada tahun 1963 yang
mengeluarkan undangan untuk Konsili Vatikan II demi memperhatikan kesadaran
yang semakin meningkat dari kaum perempuan dalam ensiklik yang dibaca secara
luas, Pacem in Terris. Pengakuan Paus akan martabat perempuan yang melekat erat
dalam kodratnya sebagai manusia mendapat sambutan dan pujian. Beberapa
organisasi juga muncul untuk advokasi kaum perempuan seperti Konfrensi Tahbisan
Kaum Perempuan dan Organisasi gereja-Perempuan tahun 1976. Sekitar 20 tahun kemudian
gerakan serupa muncul di negara-negara lain. Di dalam gereja Protestan secara
keseluruhan penerimaan umum atas tahbisan bagi kaum perempuan tidak terjadi
sampai dengan paruh kedua abad ke-20. Perempuan yang tercatat sebagai orang
pertama yang ditahbis menjadi imam di Amerika Serikat adalah Antoinette Brown
Blackwell (1853), seorang mantan budak yang dibebaskan, ia dari Gereja
Kongregasionalis di South Butler, New York. Tetapi setelah setahun ia
mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Gereja Unitarian. Pada
penghujung abad ke 19, beberapa lembaga gerejani kecil, seperti Gereja Kudus
Penziarah, Bala Keselamatan dan Gereja Metodis Wesleyan juga menahbiskan
perempuan. Jika menengok sejarah Gereja-gereja Hitam Tradisional maka kita akan
bertemu dengan Leontyme Kelly, perempuan Afro-Amerika pertama yang terpilih
sebagai Uskup dalam Gereja Serikat Metodis, dan Barbara Haris, perempuan
Afro-Amerika pertama yang terpilih sebagai uskup di Gereja Episkopal USA.
Jabatan tertahbis tidak terbuka lebar bagi kaum perempuan dalam Gereja-gereja
Hitam Tradisional, maka kaum perempuan Afro-Amerika itu mencari tahbisan itu
dalam denominasi-denominasi yang secara tradisional beranggotakan orang-orang
berkulit putih.[16]
ü
Kepemimpinan Perempuan Dalam Sejarah
Indonesia
Jika kita sungguh-sungguh mau
belajar dari sejarah bangsa ini, sebenarnya tidak terlalu dipersoalkan mau
dipimpin oleh laki-laki atau perempuan sebab pada beberapa daerah perempuan
menjadi panglima perang atau turun ke medan perang sebagai prajurit seperti Cut
Nyak Dien, Cut Meutia, Roro Gusik, Emmy Saelan, Christina Martha Tyaahu, dll.
Jauh sebelum era RA. Kartini yang seringkali diklaim sebagai awal perjuangan
perempuan, merekalah yang melakukan pergerakan bagi bangsa dan lingkungannya[17].
Saya yakin masih banyak nama yang tidak dapat disebutkan karena pada waktu itu
proses penulisan sejarah masih terpusat pada laki-laki padahal di lapangan ada
banyak perempuan yang berjasa sebab perjuangan tidak harus mengangkat senjata
tetapi pada bagian yang lain seperti urusan kesehatan dan logistik juga pantas
untuk dihargai sebagai bagian dari perjuangan. Belum lagi upaya mereka sebagai
istri-istri dalam mendampingi para panglima dan prajurit. Untuk itu saya
sependapat dengan apa yang dikatakan Prof. Dr. Saparinah Supadli bahwa sampai
saat ini penulisan sejarah Indonesia belum mendudukan secara jelas posisi dan
peran aktif perempuan dalam sejarah bangsa. Dalam literatur sejarah kita, perjuagan
dan kontribusi perempuan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan serta bagaimana sumbangan
mereka dalam memperbaiki posisi perempuan sebelum dan sesudah kemerdekaan tidak
pernah menjadi fokus perhatian para ahli sejarah. Selain itu pasang surut
pergerakan perempuan Indonesia yang seiringan dengan kondisi sosial politik
Indonesia juga cenderung melupakan peran aktif perempuan sejak sebelum
kemerdekaan.[18]
Jika mundur sedikit kebelakang,
dari sumber tertua yang bisa diperoleh tentang sejarah Indonesia, tercatat pada
tahun 674 M (ditulis oleh orang China), rakyat kerajaan Holing (Kalingga di Jawa
Tengah) menobatkan seorang ratu dengan gelar His-Mo (Sima). Pemerintahannya
dilukiskan amat baik, adil dan tegas. Ia dikenal sebagai penguasa yang mampu
menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kemudian tercatat pula Kerajaan Majapahit
pernah diperintah oleh seorang raja perempuan selama 22 tahun dengan gelar Ratu
Tribuana Tunggadewi Jayawisnuwardhani. Ratu ini mengundurkan diri pada tahun
1350an. Pada tahun 1429-1445 kekuasaan Majapahit diperintah lagi oleh perempuan
dengan gelar ratu Suhita[19].
Jika kita membicarakan
pergerakan perempuan sebagai sebuah gerakan maka kita bisa menyebut misalnya
organisasi Putri Mediok di Batavia (1912) yang berjuang mendorong emansipasi
perempuan dengan memberikan beasiswa kepada anak perempuan Bumiputera agar
mereka bisa melanjutkan sekolah. Ditempat lain diluar Batavia, tercatat
beberapa organisasi perempuan diantaranya, Pawiyata Wanita 91915) di magelang,
Wanita Hado (1915) di Jepara, Wanita Soesila (1918) di Pemalang dan Poetri
sejati di Surabaya. Puncaknya diselenggarakannya Kongres Wanita Indonesia I
pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah stau hasil kongres adalah
membentuk PPI (Perserikatan Perempoean Indonesia). Kongera II diadakan di
Jakarta (1929) yang mengubah nama PPI menjadi PPII (Perserikatan Perhimpoenan Istri
Indonesia). Tahun 1930 berdiri asosiasi perempuan bernama Istri Sedar yang
dipimpin Soewarni Djojosepoetra. Dalam pertemuannya di Bandung (1932) Istri
Sedar menegaskan bahwa setiap perempuan perlu aktif dalam kegiatan politik dan
salah satu kegiatannya adalah meningkatkan pendidikan terutama untuk rakyat.
Ini yang harus terus diperjuangkan[20].
III.
Menuju
Indonesia Baru
Masyarakat
tentu menaruh harapan besar terhadap sejarah baru yang tercipta seperti yang
saya kemukakan pada pendahuluan tulisan ini kemudian apa yang saya sebut
sebagai era kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia. Berikut ini dua
hal sebagai usulan pokok-pokok pikiran bagi kepemimpinan perempuan di Indonesia:
v Kepemimpinan
perempuan yang merangkul dan memberdayakan
Kepemimpinan
perempuan idealnya adalah kepemimpinan yang menekankan pada kualitas-kualitas pro-life dan berpihak pada kaum tersisih,
lemah, miskin dan tertindas, baik laki-laki mapun perempuan. Kepemimpinan yang
merangkul semua dan memberdayakan setiap potensi yang ada sekecil apapun itu.
Dalam konteks Indonesia yang serba multi kultural dan multi dimensional ini sangat
diharapkan baik itu kepemimpinan perempuan di tingkat pemerintahan, pendidikan,
maupun keagamaan (seperti gereja)
mampu membangun sinergitas dengan
saling merangkul satu dengan lainnya, menyingkirkan segala batas-batas
kecurigaan, perbedaan dan bebas dari kepentingan pribadi atau golongan dalam menyikapi
segala macam persoalan ketidakadilan gender dan masalah kemanusiaan lainnya di
negeri ini.
Tanpa
bermaksud bersikap dikotomi, mungkin benar apa yang diyakini oleh Merilyn
French dalam bukunya Beyond Power, bahwa
kuasa laki-laki adalah power over sedangkan kuasa perempuan adalah power to.
Kuasa yang pertama bersifat menindas dan merusak, sedangkan kedua adalah
membagi dan konstruktif. Hasil dari kuasa pertama selalu mendatangkan kesakitan
luar biasa (greatest paints),
sedangkan hasil dari kuasa yang kedua adalah kebahagiaan luar biasa (greatest pleasure)[21].
Kita memilih yang mana?
v Membangun
era tanpa prasangka, kekerasan dan ketidakadilan
Agenda
mendesak yang wajib dilakukan adalah melakukan transformasi pada tingkat personal maupun komunal baik secara
terstruktur maupun sistematis sejalan dengan agenda besar Revolusi Mental ala Jokowi-JK. Pada tingkat personal tidak ada
jalan lain selain dimulai dari dalam tingkat keluarga sebagai sub organisasi
terkecil di negara ini. Keluarga berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar
kehidupan seseorang. Sehingga proses sosialisasi sejak kecil ini diharapkan
mampu menerapkan sosialisasi gender
yang adil dan setara baik laki-laki maupun perempuan yaitu sama-sama memiliki
hak dan kewajiban yang setara dalam segala bidang kehidupan. Memang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak
mungkin bukan?
Disamping
itu saya setuju dengan pendekatan Fakieh yaitu, pertama, mengintegrasikan
gender kedalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga
pendidikan sebab melalui pendidikan maka pola pikir budaya patriakhi dapat
diubah sedikit demi sedikit, dan kedua strategi advokasi[22].
Untuk yang pertama, diperlukan tindakan yang terarah kepada terciptanya
kebijakan manajemen dan keorganisasian yang berperspektif gender. Penanganan
masalah perempuan harus dikembangkan secara struktural dan sistemik dimana suatu
kebijakan yang tegas diperkenalkan seperti gender
staff recruitment dan staff
development, perencanaan program yang berwawasan gender, pengembangan
kurikulum dan metode pendidikan yang berwawasan gender, dalam kegiatan
penelitian diadakan feminis research,
dll. Advokasi dengan melakukan
pendampingan secara hukum terhadap persoalan ketidakadilan gender yang masih
terjadi didalam masyarakat dewasa ini berupa prasangka, kekerasan dan
ketidakadilan baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Diperlukan suatu
pengkajian khusus mengenai penyebab ketidakadilan gender, pertama jika
masalahnya terletak pada substansi hukum seperti undang-undang atau hukum Islam
maka perlu melakukan advokasi untuk mendesakkan alternatif hukum perspektif
keadilan gender. Kedua, jika kultur masyarakat dalam menanti hukum maka
strategi yang dapat dilakukan adalah kampanye dan pendidikan massa. Ketiga,
jika persoalannya terletak pada aparat penegak hukum maka kampanye dan
pendidikan berbasis gender pada aparat penegak hukum.
Baik
masyarakat, dunia pendidikan maupun agama-agama hendaknya dapat berdiri sejajar
dan saling bergandengan tangan untuk bersama-sama berjuang mendukung
kepemimpinan perempuan di Indonesia sebagai sebuah aternatif ditengah carut
marutnya dunia kepemimpinan Indonesia.
IV. Kesimpulan
Mengakhiri
tulisan ini maka ada beberapa catatan kecil yang menjadi kesimpulan saya yaitu:
a.
Pengangkatan 8 orang perempuan dalam Kabinet
Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019, terpilihnya Prof. Ir. Dwikorita Karnawati
MSc. PhD sebagai Rektor UGM (Universitas Gajah Mada) periode 2014-2017 dan
terpilihnya Pdt. Dr. Henriette Tabita Lebang sebagai Ketua Umum PGI
(Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) periode 2014-2019 menandai sejarah
baru kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia.
b.
Citra kepemimpinan perempuan dibentuk antara
lain oleh budaya dan tafsir agama serta faktor penghambat psikologi
c.
Mari belajar pada sejarah agama-agama baik teks
maupun sejarahnya dan sejarah Indonesia baik yang mengabaikan maupun mendukung
kepemimpinan perempuan agar kita meluruskannya dengan berjalan pada jalan yang
benar.
d.
Perjuangan kaum perempuan patut untuk terus
didukung, diawasi dan dilanjutkan terus-menerus sebab itu adalah perjuangan
untuk mewujudkan era Indonesia baru, era tanpa prasangka, kekerasan dan
ketidakadilan.
Sumber
Rujukan
Awuy, Tommy F, Wacana
Tragedi dan Dekonstruksi Budaya, Yogyakarta: Jentera, 1995
Clifford, Anne M., Memperkenalkan Teologi Feminis, Jakarta: Leda Lero, 2002
Fakieh, Dr. Mansour, Analisis Gender dan Transformasi sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Hommes, Anne, Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam
Gereja & Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1992
Katoppo, Marianne, Tersentuh dan Bebas, Jakarta: Aksara
Karunia, 2007
Mudzhar, Dr. H.M, Kepemimpinan
Wanita Dalam Perspektif Agama Dan sejarah Islam dalam buku Potret Perempuan, Yogyakarta:
PSW Universitas Muhamadyah dan Pustaka Pelajar, 2001
Murniati, A, Nunuk P, Getar Gender, Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004
Sadli, Prof. Dr. Saparinah, Berbeda Tetapi Setara, Jakarta: Kompas, 2010
Sakenfeld, Katharina Doob, dalam buku Letty M.
Russel, Perempuan & Tafsir Kitab
Suci, Yogyakarta: Kanisius dan BPK GM, 1998
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/28/mqnhn4-perempuan-dan-citra-buruk-dalam-pusaran-politik, akses tgl 12 Desember 2014
http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic, akses tgl 12 Desember 2014
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/22/14180151/Sahabat.Karib.Menteri.Susi.Terpilih.Jadi.Rektor.UGM, akses tgl 19 Desember 2014
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/perempuan-ketua-umum-pgi-periode-2014-2019, akses tgl 19 Desember 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Dwikorita_Karnawati, akses tgl 19 Desember 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan, akses tgl 19 Desember 2014
[1]http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic
[2]http://nasional.kompas.com/read/2014/11/22/14180151/Sahabat.Karib.Menteri.Susi.Terpilih.Jadi.Rektor.UGM
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Dwikorita_Karnawati
[4]http://www.satuharapan.com/read-detail/read/perempuan-ketua-umum-pgi-periode-2014-2019
[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan
[6]http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/28/mqnhn4-perempuan-dan-citra-buruk-dalam-pusaran-politik
[7]Marianne Katoppo, Tersentuh dan Bebas, (Jakarta: Aksara
Karunia, 2007) hal 10
[8]Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam
Gereja & Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1992)
hal 25-26
[9]Anne, ibid, hal 29
[10]Dr. H.M Antho Mudzhar, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Agama
Dan sejarah Islam dalam buku Potret Perempuan (Yogyakarta: PSW Universitas
Muhamadyah dan Pustaka Pelajar, 2001) hal 21
[11]Ibid, hal 23-27
[12]Ibid, hal 29-31
[13]Katharina Doob Sakenfeld,
dalam buku Letty M. Russel, Perempuan
& Tafsir Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisisu dan BPK GM, 1998) hal 53
[14]Ibid hal 54
[15]Ibid
[16]Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (
Jakarta: Leda Lero, 2002) hal 232-270
[17]A. Nunuk P.Murniati, Getar Gender, (Magelang: Yayasan
Indonesia Tera, 2004), hal 15
[18]Prof. Dr. Saparinah Sadli,
Berbeda Tetapi Setara (Jakarta:
Kompas, 2010), hal 107
[19]Ibid, hal 205
[20]Ibid, hal 106
[21]Tommy F. Awuy, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Budaya,
(Yogyakarta: Jentera,1995), hal 102-103
[22]Dr. Mansour Fakieh, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal 163
How to play Spades online - DrmCD
BalasHapusSpades is one of the most popular card games in the United States, and most 익산 출장샵 people play it online 군산 출장안마 because 김제 출장안마 it is 삼척 출장마사지 easy to learn and 익산 출장안마 play.