Minggu, 01 November 2015

Menuju Indonesia Baru Melalui Sejarah Kebangkitan Kepemimpinan Perempuan Di Indonesia


I.     Pendahuluan
Sepertinya tahun 2014 ini adalah “tahunnya perempuan” begitu kesimpulan beberapa kalangan. Saya sangat setuju dengan kesimpulan ini sebab ada tiga peristiwa bersejarah penting yang perlu dicatat dalam perjuangan kaum perempuan menegakkan keadilan dan kesetaraan di Indonesia yaitu pengangkatan 8 orang perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019, terpilihnya Prof. Ir. Dwikorita Karnawati MSc. PhD sebagai Rektor UGM (Universitas Gajah Mada) periode 2014-2017 dan terpilihnya Pdt. Dr. Henriette Tabita Lebang sebagai Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) periode 2014-2019. Tiga peristiwa penting ini mencatat sejarahnya masing-masing di ranah pemerintahan, pendidikan dan keagamaan (baca gereja). Mari melihat sejarah apa yang dibuat yaitu: pertama, 8 orang menteri perempuan era Presiden Jokowi ini memecahkan rekor menteri perempuan terbanyak dari periode sebelum-sebelumnya semenjak negara Indonesia ini berdiri[1], kedua, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati Msc. Phd adalah rektor perempuan pertama sepanjang sejarah UGM berdiri, dan terakhir, Pdt. Dr. Henriette Tabita Lebang adalah Ketua Umum perempuan pertama sepanjang sejarah berdirinya PGI di Indonesia. Sungguh sebuah fakta yang sangat menarik bukan? Sebuah pencapaian sejarah yang patut untuk kita rayakan bersama.
Adapun 8 orang menteri perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019 dapat disimak profil singkatnya yaitu:
ü    Retno Lestari Priansari Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri. Retno adalah menteri Luar Negeri perempuan pertama di Indonesia. Retno sebelumnya menjabat sebagai Dubes RI di Belanda. Dia adalah sosok yang berprestasi. Banyak hal yang sudah dicapai Retno selama di Belanda, salah satunya adalah pengakuan kemerdekaan Indonesia. Retno juga seorang diplomat handal yang sudah kaya pengalaman di bidang luar negeri. Retno adalah lulusan Universitas Gadjah Mada yang melanjutkan jenjang S2 di Haagsche Hooge School, Belanda. Perempuan berusia 51 tahun ini kemudian memiliki karier yang panjang sebagai diplomat.
ü    Yohana Yembise sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak. Yohana adalah putri Papua kelahiran Manokwari, 1 Oktober 1958. Tahun 1985, dirinya melanjutkan pendidikan Sarjana Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Cenderawasih. Yohana menyabet gelar Master pada 1994 dari Faculty of Education, Simom Fraser University British Colombia, Kanada dan menyabet doktor dari Universitas Newcastle di bidang pendidikan keguruan di tahun 2007. Di tahun 2013, Prof Yohana mendapat penghargaan dari Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty, karena menjadi salah seorang paling berprestasi dalam penerima beasiswa ADS (Australian Development Scholarship). Kini, selain menjadi profesor pertama dan profesor perempuan pertama dari Papua, Yohana juga menjadi perempuan pertama dari Papua yang menjadi menteri.
ü    Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Kendati tak lulus SMA, namun Susi sudah membuktikan ulet sebagai pengusaha di bidang perikanan hingga penerbangan selama 33 tahun. Hal ini dijelaskan Susi sendiri saat jumpa pers mengundurkan diri dari jabatan di perusahaannya. Ia sempat menyinggung tentang latar belakang pendidikannya. "Saya nggak berpendidikan sedangkan kebanyakan kabinet profesor. Orang boleh berpikir, tapi kalau boleh saya mengklaim seorang profesional," kata Susi saat jumpa pers di hotel Grand Hyatt, Jalan MH Thamrin, Jakpus, Minggu (26/10/2014). ‎Saya bekerja 33 tahun dan membuktikan bahwa sebuah dedikasi yang total dan committed dan semua passion membuat perusahaan yang cantik dan need dan usefull untuk masyarakat Indonesia," sambungnya. Tak cuma itu prestasinya, dalam bidang sosial kemanusiaan, dua hari setelah gempa tektonik dan tsunami Aceh melanda Aceh dan pantai barat Sumatera pada 26 Desember 2004, Cessna Susi disebut di Wikipedia, adalah pesawat pertama yang berhasil mencapai lokasi bencana untuk mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di daerah terisolasi.
ü    Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Puan yang kelahiran 6 September 1973 menjabat Menko dalam usia 41 tahun. Berarti, dia menjadi menteri koordinator perempuan termuda yang pernah ada. Sebelumnya, Menteri Koordinator perempuan dijabat Sri Mulyani, yang menjadi Menko Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu I, yang menjabat sejak 13 Juni 2008. Saat menjabat Menko Perekonomian, Sri Mulyani yang kelahiran 26 Agustus 1962 itu, berusia 46 tahun. Di DPR periode 2009-2014 sebelumnya, Puan bertugas di Komisi I menggantikan posisi Tjahjo Kumolo
ü    Rini Mariani Soemarno, pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri sejak tahun 2001-2004. Di Kabinet Kerja, Rini Soemarno menjabat Menteri BUMN. Rini yang pernah menjadi Kepala Staf Kantor Transisi Jokowi-JK adalah lulusan Wellesley College, Massachusetts. Wanita 56 tahun ini sibuk berbisnis dengan menjadi Presiden Direktur PT Kanzen Motor Indonesia pada 2005 dan Komisaris Aora TV sejak 2008.
ü    Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial. Khofifah pernah menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang menjabat 1999-2001. Kini, Khofifah dipercaya Presiden Jokowi menjabat Menteri Sosial. Kofifah yang merupakan juru bicara Tim Pemenangan Jokowi-JK ini merupakan lulusan S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Sebelumnya, Afifah merupakan anggota DPR fraksi PPP tahun 1992-1997. Kemudian ia masuk ke PKB dan menjadi anggota DPR dari fraksi partai itu dari tahun 1998.
ü    Siti Nurbaya Abubakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Siti Nurbaya merupakan Ketua DPP Partai Nasional. Sebelum ditugaskan sebagai menteri di Kabinet Kerja Jokowi-JK, wanita 58 tahun tersebut pernah bertugas di Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Lampung sampai menjadi Sekjen Kemendagri pada 2001-2005. Istri dari Rusli Rachman ini memiliki gelar sarjana dan doktor dari IPB, sementara gelar master dari International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), Enschede, Belanda.
ü    Nila F Moeloek sebagai Menteri Kesehatan. Sebelum akhirnya bergabung dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK, Nila pernah menjadi nominasi MenKes pada lima tahun silam. Wanita 65 tahun ini pun menjadi menteri tertua di Kabinet Kerja Jokowi-JK. Ia mengikuti jejak sang suami, Farid Moeloek yang juga pernah menjabat di posisi yang sama. Prof Dr Nila F Moeloek, SpM (K) merupakan ahli penyakit mata dan guru besar Fakultas Kedokteran UI. Sebelumnya, Nila memiliki kesibukan sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata (Perdami) dan Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan Pusat, serta mengajar di Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Majelis Wali Amanat (MWA) akhirnya memutuskan Prof Ir Dwikorita Karnawati, MSc, PhD, menjadi rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), menggantikan Pratikno yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara. "Ini menjadi catatan sejarah. Sebab, setelah 65 tahun berdiri, Ibu Dwikorita menjadi rektor perempuan pertama UGM," ujarnya. Dwikorita Karnawati merupakan sahabat karib Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Bahkan, saat di SMA, keduanya duduk satu bangku[2]. "MWA sudah musyawarah dan siang ini telah mencapai kesepakatan. Ibu Dwikorita dipilih menjadi Rektor UGM menggantikan Bapak Pratikno," ujar Ketua MWA UGM Prof Dr Sofian Effendi, Sabtu (22/11/2014) siang. Ia terpilih sebagai rektor melalui sidang pleno Majelis Wali Amanat (MWA) dalam penetapan rektor antarwaktu. Ia terpilih melalui musyawarah mufakat 19 anggota MWA. Dari 23 anggota MWA, empat di antaranya berhalangan hadir, yaitu Sri Sultan HB X, Jenderal (purn) TNI Luhut Pandjaitan, Hery Zudianto, dan Sri Suparjatie. Selanjutnya ditetapkan oleh Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada pada 22 November 2014 lalu, sebagai Rektor UGM masa bakti 2014-2017 dan dilantik pada 24 November 2014. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Wakil Rektor (Warek) Bidang Kerja Sama dan Alumni. S1nya di Teknik Geologi, FT Universitas Gadjah Mada (1988), S2 di Engineering Geology, Leeds University, Inggris (1992) dan S3 di Engineering Geology, Leeds University, Inggris (1996). Prestasinya anatraa lain, Best Paper and Presentation in the International Association of Engineering Geology conference, Nottingham, UK., Sept 2006, Delphe (Development of Partnership in Higher Education) – British Councilwith respect to the Research entitled : Seismicity and Landslide Hazard Mapping for Community Empowerment in Yogyakarta, Indonesia (2007-2010), International Program on Landslide-UNESCO Recognition with respect to the Research entitled Landslide and multi geohazard mapping for community empowerment in Indonesia (2008-2010). Dwikorita dikenal sebagai pakar dan pengamat masalah kerentanan tanah akibat bahaya gempa bumi. Salah satu penelitiannya adalah membuat zona atau peta daerah Bantul yang rawan terhadap gempa bumi dan tingkat intensitas kerentanannya pasca gempa 27 Mei 2006. Ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik UGM, bersama suaminya Prof. Ir. Sigit Priyanto, M.Sc., Ph.D.an Alumni ini sekaligus mengukir sejarah sebagai rektor perempuan pertama UGM[3].
Sidang Raya XVI Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) hari Jumat (14/11) memutuskan Pendeta Dr Henriette Tabita Lebang MTh dari Gereja Toraja sebagai Ketua Umum PGI periode 2014-2019, menggantikan Pendeta Dr Andreas Anangguru Yewangoe dari Gereja Kristen Sumba yang habis masa jabatannya. Lebang, demikian ia biasa dipanggil, tercatat sebagai perempuan pertama yang menjabat Ketua Umum PGI sejak berdiri tahun 1950. Dalam sidang panitia nominasi Sidang Raya XVI PGI, Eri Lebang memperoleh 66 suara. Sedangkan, kandidat lain Richard Daulay dari Gereja Metodis Indonesia memperoleh 23 suara, John Ruhulesin dari Gereja Protestan Maluku 23 suara, Albertus Patty dari Gereja Kristen Indonesia memperoleh 11 suara, dan Langsung Sitorus dari Gereja Huria Kristen Indonesia dengan 2 suara. Eri Lebang lahir pada 11 Oktober 1952 di Ujung Pandang -sekarang Makassar. Dia menikah dengan Ralph Donald Manahara Hutabarat yang sekarang sudah meninggal dan memiliki dua orang anak, Dorothea Marannu dan Cita Lanrianna. Eri Lebang meraih gelar sarjana muda Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1975 dan Sarjana Teologi pada 1977. Kemudian, mengambil program Master of Arts di Presbyterian School of Christian Education (PSCE) Ricmond Virginia USA pada 1987 dan meraih gelar Doctor of Education juga di PSCE pada 1991. Sejak 1978, Eri Lebang mengawali pelayanannya dengan menjadi staf di Lembaga Pembinaan Kader (LPK) Gereja Toraja. Lalu duduk di Pengurus Pusat Gereja Toraja (PPGT), dan menjadi Ketua I Badan Pekerja Sinode (BPS) Gereja Toraja juga Ketua Badan Pembinaan Warga Gereja di BPS Gereja Toraja. Selama 2006 - 2010 dia menjadi Direktur Institut Teologi Gereja Toraja. Pada 1980 Eri mulai melayani di PGI sebagai asisten Sekjen, dilanjutkan dengan menjadi Ketua Departemen Perempuan PGI dari 1984 hingga 1986. Pelayanan Asianya dimulai pada tahun 1991 di Dewan Gereja-gereja di Asia. Eri Lebang menjabat Associate General Secretary of the Christian Conference of Asia (CCA) hingga 2001. Saat ini Eri Lebang menjabat Sekretaris Jenderal di Dewan Gereja-gereja di Asia sampai 2015. Posisi ini menjadikan dia sebagai perempuan pertama di Asia yang menjadi pimpinan tertinggi CCA. Selain aktif di CCA, Eri Lebang juga melayani di World Council of Churches/WCC (Dewan Gereja Sedunia). Sekarang, dia anggota Central Committee dan Executive Committee WCC. Eri Lebang juga pernah menjadi anggota Joint Working Group WCC dan Pontifical Council for Christian Unity, Vatican pada tahun 2008-2013[4].
Demikianlah sekilas profil kedelapan menteri perempuan Kabinet Kerja Jokowi yang dihimpun dari berbagai sumber, Prof. Dwikora sebagai Rektor Perempuan pertama UGM dan Pdt. Dr. Ery Lebang sebagai Ketua Umum PGI perempuan pertama. Semoga mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan baik membawa Indonesia menjadi negara yang adil, setara, damai dan rumah bersama bagi semua orang. Menyikapi sejarah penting yang dibuat oleh mereka semua sebagai kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia maka tulisan ini akan menguraikan seputar perjuangan kepemimpinan perempuan di Indonesia dan harapan kedepannya.

II.  Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Cara alamiah mempelajari kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari perannya memberikan pengajaran/instruksi[5]. Itu berarti kepemimpinan adalah proses hidup dan kerja yang baik laki-laki maupun perempuan dapat memilikinya karena ia dapat dilatih. Bukan sesuatu yang ascribed status (didapat dari lahir) tetapi achieved status (didapat karena usaha dan kerja), sehingga kepemimpinan terbuka bagi siapa saja meskipun ada juga assigned status. Assigned status adalah status sosial yang diperoleh seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan didapat sejak lahir tetapi diberikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Contohnya seperti seseorang yang dijadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh, dan sebagainya. Menjadi pertanyaan selanjutnya, jika demikian maka ada apa dengan kepemimpinan perempuan Indonesia?
Jika menengok sejarah lampau sebenarnya Indonesia terbiasa dipimpin baik laki-laki maupun perempuan namun masalah muncul kemudian ketika perempuan ingin mencapai posisi dalam struktur kepemimpinan baik tingkat nasional maupun daerah. Alasan yang sering dikemukakan adalah bagaimana mungkin kita dipimpin oleh seorang pejabat perempuan yang mobilitasnya terbatas karena urusan rumah tangga?. Status perempuan sebagai ibu rumah tangga seringkali menjadi alasan untuk menolak kepemimpinan seorang perempuan. Seorang pejabat tinggi bahkan pernah mengatakan bagaimana mungkin kita dipimpin oleh seorang “ibu rumah tangga” ketika Megawati diangkat menjadi Presiden ke-5 setelah pemakzulan Gud Dur. Sebutan dan pengertian sebagai ibu rumah tangga meneguhkan domestifikasi perempuan yang berdiri di seputar kasur, sumur dan dapur. Sedangkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga melenggang bebas tanpa beban ganda tersebut. Belum lagi nilai-nilai budaya patriakhi dan tafsir bias agama terhadap perempuan yang semakin melanggengkan kepemimpinan laki-laki sebagai yang utama dan ideal. Menyikapi hal tersebut maka berikut ini uraian bagaimana citra kepemimpinan perempuan yang selalu dipandang negatif, faktor-faktor penghambat, serta pandangan agama-agama yang turut mempengaruhi kepemimpinan seorang perempuan.

Ø  Citra Kepemimpinan Perempuan
Menurut hasil penelitian Prapancha Research (PR) dalam pantauan terbarunya mendapati citra perempuan dalam dunia politik kita cenderung buruk. Kenapa? Selain belum adanya perempuan yang benar-benar membekas dalam ingatan publik sebagai tokoh politik berprestasi, beberapa skandal seksual politisi (laki-laki) yang marak diberitakan belakangan ini memperburuk citra perempuan dalam politik. "Saat sejumlah nama politisi perempuan paling menonjol digabungkan sekalipun, jumlahnya tetap tak sepadan dengan satu tokoh politik pria yang menonjol," kata analis PR, Cindy Herlin Marta. "Selain angka perbincangan perihal nama-nama kebanyakan politisi perempuan ini rendah, mereka kebanyakan hanya disinggung di akun-akun Twitter media sebagai pejabat formal yang sedang mengurusi kebijakan ini-itu, atau sedang tersandung kasus dugaan korupsi," ujar Cindy. Berbeda halnya dengan politisi pria. Sebagai contoh, Jokowi, Jusuf Kalla, atau Mahfud M. D., memiliki citra kuat yang sangat mudah terpantau dalam perbincangan-perbincangan di Twitter. Tokoh-tokoh ini cenderung diingat publik sebagai sosok yang mempunyai karakter, berpeluang membawa perubahan, dan tak jarang terpantau diidam-idamkan menjadi pemimpin Indonesia[6]. Apa yang terjadi pada kasus Angelina Sondakh tentu menambah daftar panjang kecemasan dan sinisme publik akan kepemimpinan perempuan bahwa ketika perempuan berkuasa ia hanya akan menjadi agen korupsi atau keluhan terhadap politisi Andy Nurpati yang begitu keras diperjuangkan gerakan perempuan untuk duduk di KPU toch mengecewakan karena ia tergoda dengan jabatannya yang prestisius di partai penguasa, Partai Demokrat kala itu. Begitu tidak adil menilai buruknya kepemimpinan perempuan hanya berdasarkan dua contoh tersebut, sebab banyaknya koruptor laki-laki dan politikus laki-laki bobrok tidak terlalu mendapat sorotan atau dipersoalkan.
Menarik menyimak apa yang dianalisis Katoppo berikut ini. Agar dapat maju dalam suatu masyarakat patriakhal, perempuan diharapkan menjadi seorang laki-laki, yaitu berhenti menjadi yang lain, yang penuh ancaman itu. Dalam bidang politik apakah itu politik gereja atau negara-kita seringkali akan temukan bahwa jumlah kecil perempuan yang mencapai puncak sering telah menjadi begitu kelaki-lakian sehinga mereka lebih merugikan daripada menguntungkan usaha kaum perempuan untuk mencapai pembebasan. Beberapa malahan akan bertindak diktator sedemikian rupa sehingga beberapa lelaki akan mengatakan seraya membenarkan diri, bahwa ini hanya membuktikan bahwa “perempuan tidak pernah boleh diberikan kesempatan memperoleh kekuasaan”. Mereka tidak menyadari adanya proses psikologi yang membawanya[7]. Beban psikologis dan pengalaman sebagai seorang perempuan yang inferior pada segala bidang kehidupan tentu tidak pernah mendapat perhatian ketika perempuan menjadi seorang pemimpin. Wajar jika perempuan terlihat seolah berusaha menjadi seperti kelelakian sebab ia memasuki dunia yang terbiasa dikendalikan dan dihuni oleh laki-laki. Selama berabad lamanya dunia telah dipimpin dan dikendalikan oleh laki-laki sehingga ketika perempuan memimpin dipandang sesuatu yang ganjal dan tidak cocok. Perlu menjadi titik perhatian dan dukungan adalah bagaimana perempuan leluasa untuk menjadi dirinya sendiri termasuk ketika ia menjadi seorang pemimpin. Itulah hutang peradaban yang harus dibayar terhadap perempuan.

ü  Faktor-faktor Penghambat
Faktor penghambat seorang perempuan untuk berperan dan mengaktualisasikan dirinya menjadi seorang pemimpin antara lain adalah karena proses sosialisasi. Apa yang dimaksud dengan proses sosialisasi? Sosialisasi berarti mengintegrasikan seorang anak dalam masyarakat. Proses sosialisasi ini merupakan alat untuk mengkomunikasikan kelakuan yang pantas kepada seorang yang baru dalam kelompok tertentu, misalnya keluarga, kelas sekolah atau anggota gereja. Dalam proses sosialisasi ini seorang anak belajar bahasa, kebiasaan dan nilai-nilai yang dihargai oleh keluarganya, sukunya bahkan kelompok lain dimana ia berada. Berangsur-angsur anak ini menjadi biasa dengan bahasa serta adat dari lingkungan da diintrodusikan dalam kebudayaannya. Dia merasa terdorong menyesuaikan diri kepada apa yang diharapkan daripadanya, karena kelakuan yang pantas ini menjamin penerimaannya dalam keluarga atau kelompok yang lain[8]. Dalam konteks budaya patriakhi maka perempuan sejak dari kecil disosialisasikan untuk menjadi anak perempuan yang patuh dan diperlakukan lebih rendah atau nomor dua dari saudaranya laki-laki. Faktor inilah yang cenderung secara psikologis membuat perempuan minder dan merasa kepemimpinan itu tidak menjadi haknya tetapi utama adalah untuk saudaranya laki-laki. Oleh karena itu maka tak jarang para perempuan selalu menerima saja untuk menjadi kelas nomor dua atau dipimpin oleh laki-laki.
Harga diri adalah pegangan yang utama bagi manusia. Seorang individu dengan “ego strength” atau citra diri yang kuat bertingkah laku berbeda dari seorang yang merasa minder. Sejak lahir kaum wanita diberi kesan, bahwa mereka kelas dua. Mereka canggung, karena refleksi dalam cermin interaksi sosial memberikan gambaran bahwa mereka kurang mampu. Sikap minder ini sudah didalami dan tetapi mempengaruhi psikologi wanita[9]. Banyak perempuan ingin menjadi pemimpin tetapi terhambat karena masalah harga diri dan citra diri yang rendah. Oleh karena itu dengan kepercayaan diri yang kuat akan mendorong perempuan untuk menjadi seorang pemimpin pada bidang apapun. Akan tetapi juga perlu tetap mewaspadai untuk tidak menjadi sombong atau memiliki kepercayaan diri yang kelewat batas sehingga akhirnya berbuat diluar batas kewenangannya atau malah menindas orang lain. Kalau sudah begitu apa bedanya dengan kepemimpinan laki-laki?



ü  Kepemimpinan perempuan dalam Islam
Setidaknya ada dua pendapat mengenai kepemimpinan wanita dalam Islam. Pendapat pertama mengatakan bahwa wanita dalam Islam tidak bisa menjadi pemimpin dalam kehidupan publik, sementara pedapat kedua menyatakan sebaliknya bahwa sejalan dengan konsep kemitrasejajaran yang diajarkan Islam maka wanita boleh menjadi pemimpin dalam kehidupan masyarakat atau dalam kehidupan publik. Pendapat pertama bersifat konservatif dan pendapat kedua bersifat liberal.[10] Pada umumnya pendapat pertama mendasarkan alasannya dengan analogi kepemimpinan dalam ibadat yaitu sholat. Wanita tidak boleh memimpin sholat kecuali jika semua pengikutnya adalah wanita. Keabsahan pengaitan kepemimpinan dalam sholat dan masyarakat ini dapat dilihat jika melihat kedudukan Abu Bakar sebagai pelanjut kepemimpinan Nabi Muhammad SAW antara lain karena ia yang pertama diminta Nabi untuk menjadi imam sholat berjemaah di Madinah ketika Nabi sakit menjelang saat-saat terakhirnya. Alasan lainnya adalah pada penciptaan wanita dimana dalam surat An-Nisa ayat 1, dimana ada kata kunci Nafsin Wahidatin yang kemudian ditafsirkan bahwa Siti Hawa terbuat dari tulang rusuk Adam. Penafsiran ini mengantarkan pemahaman bahw asudah sejak awal penciptaannya wanita memang inferior dari laki-laki. Alasan lainnya masih dalam surat An-Nisa ayat 34 yang mengatakan kalau laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian mereka (wanita) karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Pendapat kedua mendasarkan alasannya dengan penafsiran yang cukup terbuka pada ayat-ayat tersebut. Bahwa tak ada satu katapun dalam Al-Quran yang menunjukkan Siti Hawa dibuat dari tulang rusuk Nabi Adam karena baik Siti Hawa maupun Nabi Adam keduanya tidak disebut dalam ayat tersebut. Kata NafsinWahidatin lebih tepat diartikan sebagai species yang sama, artinya laki-laki dan perempuan dijadikan dari species yang sama, yaitu sama-sama homo sapien. Kata afsun bentuk jamak dari nafsun yang digunakan pada banyak tempat dalam Al-Quran semuanya tidak harus berarti  badan atau diri sebagian berarti jenis, kaum atau bangsa. Tafsiran lain tentang surat An-Nisa ayat 34 menurut Al-Hibri bahwa kata Qawwamun tidak harus berarti pemimpin tetapi arti lain bisa menjadi pelindung atau penanggungjawab. Selain itu Qawwamun memang sebagian adalah ascribed (pemberian dari lahir) tetapi sebagian lagi adalah acquired (diperoleh). Karena kepemimpinan itu diperoleh karena pria membelanjakan harta bendanya untuk perempuan. Perlu dicatat disini bahwa peranan menafkahi itu acquired bukan ascribed karena kalau tidak memiliki harta berarti tidak dapat berperan sebagai pemimpin. Ini berarti kepemimpinan adalah sesuatu yang dilatih atau diupayakan bukan sesuatu yang melekat sejak lahir. Itu berari masing-masing baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak kepemimpinan dalam kehidupan tergantung siapa yang berhasil memperoleh kualitas itu[11]
Dalam sejarah Islam terdapat beberapa perempuan yang berperan besar bagi kelangsungan masyarakat Islam dengan kualitas-kualitas kepemimpinan meskipun tidak diakui. Isteri Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah bukan hanya berperan dalam menenangkan hati Nabi ketika cemas menerima wahyu pertama tetapi mensupportnya secara materi sebab ia seorang pedagang. Wanita pedagang yang berjiwa independen itu berdagang pada jalur Mekah-Syria yang ukuran waktu itu sangat jauh jaraknya bahkan sampai sekarang dan menjadi jalur internasional. Itulah sosok wanita Mekkah awal Islam. Pada periode Mendinah dikenal  Siti Aisyiah salah seorang penutur hadits-hadits Nabi. Sekitar 300 buah hadits nabi yang sekarang dicatat dalam sahih Muslim dan Bukhari berasal dari penuturan  Siti Aisyiah. Ia juga ikut bergabung dengan pasukan Talhah dan Zubair melawan Ali bin Abu Thalib dalam suatu peperangan yang disebut perang Jamal. Ada juga Siti Hafsah  yag dipercaya menyimpan mushaf asli Al-Quran yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf Usmani yang dibaca sampai sekarang. Suatu hal yang luar biasa pengaruhnya dalam keberlangsungan sejarah Islam dalam pemeliharaan Al-Quran. Pada periode sajarah Islam klasik dikenal juga Syajarat al Durr seorang penguasa Mesir, yang meraih kekuaaan di Kairo pada tahun 1250 melalui keunggulan strategi dan militernya. Ia dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin pasukan yang selalu mampu mengalahkan musuh-musuhnya[12].

ü  Kepemimpinan perempuan dalam keKristenan
Dalam agama-agama termasuk agama Kristen, teks dan tradisi biasa digunakan untuk mendukung kemapanan atau status quo budaya, termasuk tema-tema yang berkata bahwa perempuan diciptkan sesudah laki-laki (Kej 2), berdosa lebih dahulu dari laki-laki (Kej 3 dan I Tim 2:13-14), bahwa perempuan harus tutup mulut di gereja (I Kor 14, I Tim 2), menempatkan diri dibawah suami (Efesus 5). Menyikapi teks-teks ini maka kaum feminis melakukan dua tanggapan ganda yaitu melakukan reinterpretasi dan membahas teks-teks yang dilupakan yang mengungkapkan perempuan dalam wawasan yang berbeda[13]. Lebih lanjut dijelaskan untuk tanggapan pertama tentang reinterpretasi, teks Kejadian 1-2 ditafsirkan ulang dan hasilnya adalah penciptaan perempuan pada akhir pasal 2 mungkin saja bermakna bahwa perempuan sederajat dengan laki-laki dan dalam eprjumpaand dengan ular sang penggoda baik perempuan maupun laki-laki harus dipandang sama-sama bertanggungjawab, sama-sama bersatu untuk tidak taat pada Allah. Nasihat Paulus agar perempuan berdiam diri dalam 1 Kor 14 merupakan nasihat khusus untuk mengatasi kekacauan dalam jemaat Korintus. Nasihat tentang perkawinan dalam Efesus 5 sering dibahas dengan penekanan tema saling merendahkan diri (ayat 21) yang mengawali nasihat tersebut (ayat 22-23). Tanggapan kedua yang diutamakan adalah penekanan baru terhadap teks-teks yang nampanya berbicara positif mengenai perempuan. Gal 3:28 adalah contoh yang sangat jelas: “Dalam hal ini tidak ada orang yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena kamu semua adalah satu didalam kristus Yesus”. Banyak feminis Kristen yang melandaskan pandangannya tentang kedudukn perempuan dalam keluarga, masayarakat dan gereja berdasarkan teks ini. Menurut mereka teks ini melampaui pengekangan yang umumnya dipraktekkan gereja purba dan teks ini dapat diterapkan utnuk kehidupan actual di dunia, tidak sekedar untuk keselamatan pribadi.[14]
Peranan para tokoh perempuan dalam Alkitab juga tidak dapat diabaikan dalam konteks kepemimpinan. Peranan tokoh seperti Miryam, Debora, Ester, dll dalam PL serta Maria, Marta, perempuan-perempuan di kubur Yesus, Priskila, Lydia, dll digunakan untuk menunjukkan bahwa perempuan dapat memimpin dan berwibawa dalam komunitasnya. Sikap Yesus terhadap perempuan pun sangat mengasihi dan menghargai mereka. Yesus serius menggapi dan berbicara dengan mereka, sebuah tindakan revolusioner pada zamannya. Sikap ini kemudian membentuk sikap kritik terhadap sistim patriakhi baik pada zaman gereja purba maupun pada masa kini. Cerita perjumpaan Yesus dan perempuan Samaria di tepi sumur (Yoh 4) diberi penekanan dimana Yesus untuk pertama kali menyatakan kemesiasanNya kepada simbol orang yang tersisih, yakni perempuan yang reputasinya jelek dan seorang Samaria[15].
Sejarah panjang kaum perempuan dalam memperjuangkan hak untuk menjadi imam tertahbis di gereja juga dapat memberi kita banyak pelajaran berharga. Sampai dengan tahun 1970an hanya laki-laki yang sudah dibaptis bisa secara sah menerima tahbisan didalam gereja-gereja yang menyangkut imamat sakramental. Pada tahun 1970an semakin banyak perempuan di dalam gereja-gereja Katolik Roma, Episkopal Protestan dan Gereja Persekutuan Anglikan yang menyuarakan keinginan mereka ditahbiskan karena mereka merasakan suatu panggilan Allah untuk melayani jemaat-jemaat mereka sebagai seorang imam. Tahbisan kanonikal kaum perempuan didalam Gereja Persekutuan Anglikan berlangsung di Hongkong tahun 1971 dan di Kanada tahun 1976. Tahun terakhir adalah tahun yang sama bagi Gereja Episkopal dalam sidang rayanya menyetujui tahbisan perempuan. Ketika kaum perempuan Anglikan dan Episkopalian mengupayakan tahbisan mereka, kaum perempuan Katolik Roma juga memulai seruan untuk menahbiskan perempuan sebagai imam. Penting untuk memperhatikan pernyataan Paus Yohanes XXIII pada tahun 1963 yang mengeluarkan undangan untuk Konsili Vatikan II demi memperhatikan kesadaran yang semakin meningkat dari kaum perempuan dalam ensiklik yang dibaca secara luas, Pacem in Terris. Pengakuan Paus akan martabat perempuan yang melekat erat dalam kodratnya sebagai manusia mendapat sambutan dan pujian. Beberapa organisasi juga muncul untuk advokasi kaum perempuan seperti Konfrensi Tahbisan Kaum Perempuan dan Organisasi gereja-Perempuan tahun 1976. Sekitar 20 tahun kemudian gerakan serupa muncul di negara-negara lain. Di dalam gereja Protestan secara keseluruhan penerimaan umum atas tahbisan bagi kaum perempuan tidak terjadi sampai dengan paruh kedua abad ke-20. Perempuan yang tercatat sebagai orang pertama yang ditahbis menjadi imam di Amerika Serikat adalah Antoinette Brown Blackwell (1853), seorang mantan budak yang dibebaskan, ia dari Gereja Kongregasionalis di South Butler, New York. Tetapi setelah setahun ia mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Gereja Unitarian. Pada penghujung abad ke 19, beberapa lembaga gerejani kecil, seperti Gereja Kudus Penziarah, Bala Keselamatan dan Gereja Metodis Wesleyan juga menahbiskan perempuan. Jika menengok sejarah Gereja-gereja Hitam Tradisional maka kita akan bertemu dengan Leontyme Kelly, perempuan Afro-Amerika pertama yang terpilih sebagai Uskup dalam Gereja Serikat Metodis, dan Barbara Haris, perempuan Afro-Amerika pertama yang terpilih sebagai uskup di Gereja Episkopal USA. Jabatan tertahbis tidak terbuka lebar bagi kaum perempuan dalam Gereja-gereja Hitam Tradisional, maka kaum perempuan Afro-Amerika itu mencari tahbisan itu dalam denominasi-denominasi yang secara tradisional beranggotakan orang-orang berkulit putih.[16] 

ü  Kepemimpinan Perempuan Dalam Sejarah Indonesia
Jika kita sungguh-sungguh mau belajar dari sejarah bangsa ini, sebenarnya tidak terlalu dipersoalkan mau dipimpin oleh laki-laki atau perempuan sebab pada beberapa daerah perempuan menjadi panglima perang atau turun ke medan perang sebagai prajurit seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Roro Gusik, Emmy Saelan, Christina Martha Tyaahu, dll. Jauh sebelum era RA. Kartini yang seringkali diklaim sebagai awal perjuangan perempuan, merekalah yang melakukan pergerakan bagi bangsa dan lingkungannya[17]. Saya yakin masih banyak nama yang tidak dapat disebutkan karena pada waktu itu proses penulisan sejarah masih terpusat pada laki-laki padahal di lapangan ada banyak perempuan yang berjasa sebab perjuangan tidak harus mengangkat senjata tetapi pada bagian yang lain seperti urusan kesehatan dan logistik juga pantas untuk dihargai sebagai bagian dari perjuangan. Belum lagi upaya mereka sebagai istri-istri dalam mendampingi para panglima dan prajurit. Untuk itu saya sependapat dengan apa yang dikatakan Prof. Dr. Saparinah Supadli bahwa sampai saat ini penulisan sejarah Indonesia belum mendudukan secara jelas posisi dan peran aktif perempuan dalam sejarah bangsa. Dalam literatur sejarah kita, perjuagan dan kontribusi perempuan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan serta bagaimana sumbangan mereka dalam memperbaiki posisi perempuan sebelum dan sesudah kemerdekaan tidak pernah menjadi fokus perhatian para ahli sejarah. Selain itu pasang surut pergerakan perempuan Indonesia yang seiringan dengan kondisi sosial politik Indonesia juga cenderung melupakan peran aktif perempuan sejak sebelum kemerdekaan.[18]
Jika mundur sedikit kebelakang, dari sumber tertua yang bisa diperoleh tentang sejarah Indonesia, tercatat pada tahun 674 M (ditulis oleh orang China), rakyat kerajaan Holing (Kalingga di Jawa Tengah) menobatkan seorang ratu dengan gelar His-Mo (Sima). Pemerintahannya dilukiskan amat baik, adil dan tegas. Ia dikenal sebagai penguasa yang mampu menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kemudian tercatat pula Kerajaan Majapahit pernah diperintah oleh seorang raja perempuan selama 22 tahun dengan gelar Ratu Tribuana Tunggadewi Jayawisnuwardhani. Ratu ini mengundurkan diri pada tahun 1350an. Pada tahun 1429-1445 kekuasaan Majapahit diperintah lagi oleh perempuan dengan gelar ratu Suhita[19].
Jika kita membicarakan pergerakan perempuan sebagai sebuah gerakan maka kita bisa menyebut misalnya organisasi Putri Mediok di Batavia (1912) yang berjuang mendorong emansipasi perempuan dengan memberikan beasiswa kepada anak perempuan Bumiputera agar mereka bisa melanjutkan sekolah. Ditempat lain diluar Batavia, tercatat beberapa organisasi perempuan diantaranya, Pawiyata Wanita 91915) di magelang, Wanita Hado (1915) di Jepara, Wanita Soesila (1918) di Pemalang dan Poetri sejati di Surabaya. Puncaknya diselenggarakannya Kongres Wanita Indonesia I pada tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah stau hasil kongres adalah membentuk PPI (Perserikatan Perempoean Indonesia). Kongera II diadakan di Jakarta (1929) yang mengubah nama PPI menjadi PPII (Perserikatan Perhimpoenan Istri Indonesia). Tahun 1930 berdiri asosiasi perempuan bernama Istri Sedar yang dipimpin Soewarni Djojosepoetra. Dalam pertemuannya di Bandung (1932) Istri Sedar menegaskan bahwa setiap perempuan perlu aktif dalam kegiatan politik dan salah satu kegiatannya adalah meningkatkan pendidikan terutama untuk rakyat. Ini yang harus terus diperjuangkan[20].

III.   Menuju Indonesia Baru
Masyarakat tentu menaruh harapan besar terhadap sejarah baru yang tercipta seperti yang saya kemukakan pada pendahuluan tulisan ini kemudian apa yang saya sebut sebagai era kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia. Berikut ini dua hal sebagai usulan pokok-pokok pikiran bagi kepemimpinan perempuan di Indonesia:

v  Kepemimpinan perempuan yang merangkul dan memberdayakan
Kepemimpinan perempuan idealnya adalah kepemimpinan yang menekankan pada kualitas-kualitas pro-life dan berpihak pada kaum tersisih, lemah, miskin dan tertindas, baik laki-laki mapun perempuan. Kepemimpinan yang merangkul semua dan memberdayakan setiap potensi yang ada sekecil apapun itu. Dalam konteks Indonesia yang serba multi kultural dan multi dimensional ini sangat diharapkan baik itu kepemimpinan perempuan di tingkat pemerintahan, pendidikan, maupun keagamaan (seperti gereja) mampu membangun sinergitas dengan saling merangkul satu dengan lainnya, menyingkirkan segala batas-batas kecurigaan, perbedaan dan bebas dari kepentingan pribadi atau golongan dalam menyikapi segala macam persoalan ketidakadilan gender dan masalah kemanusiaan lainnya di negeri ini.  
Tanpa bermaksud bersikap dikotomi, mungkin benar apa yang diyakini oleh Merilyn French dalam bukunya Beyond Power, bahwa kuasa laki-laki adalah power over sedangkan kuasa perempuan adalah power to. Kuasa yang pertama bersifat menindas dan merusak, sedangkan kedua adalah membagi dan konstruktif. Hasil dari kuasa pertama selalu mendatangkan kesakitan luar biasa (greatest paints), sedangkan hasil dari kuasa yang kedua adalah kebahagiaan luar biasa (greatest pleasure)[21]. Kita memilih yang mana?



v  Membangun era tanpa prasangka, kekerasan dan ketidakadilan
Agenda mendesak yang wajib dilakukan adalah melakukan transformasi pada tingkat personal maupun komunal baik secara terstruktur maupun sistematis sejalan dengan agenda besar Revolusi Mental ala Jokowi-JK. Pada tingkat personal tidak ada jalan lain selain dimulai dari dalam tingkat keluarga sebagai sub organisasi terkecil di negara ini. Keluarga berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar kehidupan seseorang. Sehingga proses sosialisasi sejak kecil ini diharapkan mampu menerapkan sosialisasi gender yang adil dan setara baik laki-laki maupun perempuan yaitu sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam segala bidang kehidupan.  Memang tidak mudah tetapi bukan berarti tidak mungkin bukan?
Disamping itu saya setuju dengan pendekatan Fakieh yaitu, pertama, mengintegrasikan gender kedalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan sebab melalui pendidikan maka pola pikir budaya patriakhi dapat diubah sedikit demi sedikit, dan kedua strategi advokasi[22]. Untuk yang pertama, diperlukan tindakan yang terarah kepada terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang berperspektif gender. Penanganan masalah perempuan harus dikembangkan secara struktural dan sistemik dimana suatu kebijakan yang tegas diperkenalkan seperti gender staff recruitment dan staff development, perencanaan program yang berwawasan gender, pengembangan kurikulum dan metode pendidikan yang berwawasan gender, dalam kegiatan penelitian diadakan feminis research, dll.  Advokasi dengan melakukan pendampingan secara hukum terhadap persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi didalam masyarakat dewasa ini berupa prasangka, kekerasan dan ketidakadilan baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Diperlukan suatu pengkajian khusus mengenai penyebab ketidakadilan gender, pertama jika masalahnya terletak pada substansi hukum seperti undang-undang atau hukum Islam maka perlu melakukan advokasi untuk mendesakkan alternatif hukum perspektif keadilan gender. Kedua, jika kultur masyarakat dalam menanti hukum maka strategi yang dapat dilakukan adalah kampanye dan pendidikan massa. Ketiga, jika persoalannya terletak pada aparat penegak hukum maka kampanye dan pendidikan berbasis gender pada aparat penegak hukum. 
Baik masyarakat, dunia pendidikan maupun agama-agama hendaknya dapat berdiri sejajar dan saling bergandengan tangan untuk bersama-sama berjuang mendukung kepemimpinan perempuan di Indonesia sebagai sebuah aternatif ditengah carut marutnya dunia kepemimpinan Indonesia.

IV.   Kesimpulan
Mengakhiri tulisan ini maka ada beberapa catatan kecil yang menjadi kesimpulan saya yaitu:
a.       Pengangkatan 8 orang perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019, terpilihnya Prof. Ir. Dwikorita Karnawati MSc. PhD sebagai Rektor UGM (Universitas Gajah Mada) periode 2014-2017 dan terpilihnya Pdt. Dr. Henriette Tabita Lebang sebagai Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) periode 2014-2019 menandai sejarah baru kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia.
b.      Citra kepemimpinan perempuan dibentuk antara lain oleh budaya dan tafsir agama serta faktor penghambat psikologi
c.       Mari belajar pada sejarah agama-agama baik teks maupun sejarahnya dan sejarah Indonesia baik yang mengabaikan maupun mendukung kepemimpinan perempuan agar kita meluruskannya dengan berjalan pada jalan yang benar.
d.      Perjuangan kaum perempuan patut untuk terus didukung, diawasi dan dilanjutkan terus-menerus sebab itu adalah perjuangan untuk mewujudkan era Indonesia baru, era tanpa prasangka, kekerasan dan ketidakadilan.


















Sumber Rujukan

Awuy, Tommy F, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Budaya, Yogyakarta: Jentera, 1995
Clifford, Anne M., Memperkenalkan Teologi Feminis, Jakarta: Leda Lero, 2002
Fakieh, Dr. Mansour, Analisis Gender dan Transformasi sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Hommes, Anne, Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat, Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1992
Katoppo, Marianne, Tersentuh dan Bebas, Jakarta: Aksara Karunia, 2007
Mudzhar, Dr. H.M, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Agama Dan sejarah Islam dalam buku Potret Perempuan, Yogyakarta: PSW Universitas Muhamadyah dan Pustaka Pelajar, 2001
Murniati, A, Nunuk P, Getar Gender, Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004
Sadli, Prof. Dr. Saparinah, Berbeda Tetapi Setara, Jakarta: Kompas, 2010
Sakenfeld, Katharina Doob, dalam buku Letty M. Russel, Perempuan & Tafsir Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius dan BPK GM, 1998
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan, akses tgl 19 Desember 2014



[1]http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic
[2]http://nasional.kompas.com/read/2014/11/22/14180151/Sahabat.Karib.Menteri.Susi.Terpilih.Jadi.Rektor.UGM
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Dwikorita_Karnawati
[4]http://www.satuharapan.com/read-detail/read/perempuan-ketua-umum-pgi-periode-2014-2019
[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan
[6]http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/07/28/mqnhn4-perempuan-dan-citra-buruk-dalam-pusaran-politik
[7]Marianne Katoppo, Tersentuh dan Bebas, (Jakarta: Aksara Karunia, 2007) hal 10
[8]Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat (Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1992) hal 25-26
[9]Anne, ibid, hal 29
[10]Dr. H.M Antho Mudzhar, Kepemimpinan Wanita Dalam Perspektif Agama Dan sejarah Islam dalam buku Potret Perempuan (Yogyakarta: PSW Universitas Muhamadyah dan Pustaka Pelajar, 2001) hal 21
[11]Ibid, hal 23-27
[12]Ibid, hal 29-31
[13]Katharina Doob Sakenfeld, dalam buku Letty M. Russel, Perempuan & Tafsir Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisisu dan BPK GM, 1998) hal 53
[14]Ibid hal 54
[15]Ibid
[16]Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis ( Jakarta: Leda Lero, 2002) hal 232-270
[17]A. Nunuk P.Murniati, Getar Gender, (Magelang: Yayasan Indonesia Tera, 2004), hal 15
[18]Prof. Dr. Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara (Jakarta: Kompas, 2010), hal 107
[19]Ibid, hal 205
[20]Ibid, hal 106
[21]Tommy F. Awuy, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Budaya, (Yogyakarta: Jentera,1995), hal 102-103
[22]Dr. Mansour Fakieh, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hal 163 

“SUSI PUDJIASTUTI DAN CITRA PEREMPUAN PEMIMPIN DI INDONESIA” Suatu Sumbangan Derrida Terhadap Masa Depan Kepemimpinan di Indonesia


I.     Pendahuluan: “Ada Apa dengan Menteri Susi?”
Siapa yang tidak mengenal sosok perempuan bernama Susi Pudjiastuti? Seorang perempuan yang sontak menjadi buah bibir dan mengundang kontroversial ketika resmi diangkat menjadi salah satu pembantu presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019. Susi dipercayai oleh Jokowi untuk memimpin salah satu kementerian strategis yang bersangkutpaut dengan sumber daya alam yang sangat kaya di negara Indonesia ini yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan. Susi adalah satu dari 34 orang menteri dan satu dari 8 orang menteri perempuan dalam Kabinet Kerja Jokowi. Hal ini memecahkan rekor menteri perempuan terbanyak dari periode sebelum-sebelumnya semenjak negara Indonesia ini berdiri[1]. Pertanyaan mengemuka kemudian apakah yang menjadikan Susi sedemikian kontroversial dimata masyarakat?
“Menteri Susi Pudjiastuti Perokok, Bertato & Tak Lulus SMU”.[2]
Demikian headline news beberapa media di Indonesia beberapa hari setelah ia diangkat menjadi menteri pada tanggal 26 Oktober 2014 silam. Sontak saja masyarakat terbelah menjadi dua kubu yaitu pro dan kontra terhadap kehadiran Susi. Ada yang terang-terangan menolak kehadirannya dan adapula yang mendukungnya. Akan tetapi yang banyak diulas di media justru pandangan negatif yang bahkan meragukan kepemimpinannya. Apakah ada yang salah dengan Susi? Menyoal apa yang menjadi kontroversial menurut masyarakat itu maka beberapa hal bisa disebutkan disini:
·         Tidak Lulus SMU (drop out)
Susi mungkin satu-satunya menteri yang hanya tamat SMP. Ia sempat mengenyam pendidikan di bangku SMU tetapi kemudian berhenti. Pada waktu itu ia bersekolah di SMUN 1Yogyakarta. Berita yang beredar di masyarakat bahwa ia diberhentikan alias drop out karena aktif dalam gerakan golput. Asumsi yang muncul kemudian adalah bahwa Susi termasuk anak pemberontak ketika bersekolah. Benarkah demikian? Jabatan seorang menteri memang dinilai sangat prestisius, sehingga dibutuhkan seseorang yang ahli dan memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Disinilah letak kontroversinya Susi karena jika ditilik secara jenjang studi didapati ia hanya tamat SMP. Asumsi yang bermunculan kemudian ialah bagaimana mungkin ia memiliki pengetahuan yang cukup untuk menjadi seorang menteri yang membawahi ribuan pegawai negeri sipil dan diantaranya ada yang bergelar magister? Seorang guru besar salah satu universitas di Makassar bahkan mencemooh pengangkatan Susi sebagai menteri oleh Jokowi yang dianggap menghina dunia pendidikan dan profesionalisme karena Susi cuma tamat SMP. Kita mungkin juga masih ingat ketika tokoh sebesar Amien Rais menantang debat terbuka dengan Megawati Soekarnoputri yang dinilainya tidak pantas menjadi presiden karena cuma tamat SMU. Tingkat pendidikan masih menjadi syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin di Indonesia.
·         Perokok
Sesaat setelah diumumkan sebagai menteri Minggu sore, 26 Oktober 2014 yang lalu, Susi menepi ke salah satu sudut halaman belakang istana merdeka[3]. Disana ia ingin melepas lelahnya. Ia bersimpuh melepaskan sepatu haknya dan merokok. Momen itulah yang ditangkap dan diabadikan ramai-ramai oleh awak media. Sebuah pemandangan yang dianggap langka dan tidak pantas dilakukan oleh seorang menteri. Sejak saat itu media terus menguliti kehidupan pribadinya termasuk kebiasaannya merokok. Pantaskah seorang pejabat publik merokok? Demikian komentar masyarakat bahkan anak-anak yang turut mempertanyakan hal tersebut, apalagi ia seorang perempuan dan ibu. Susi dikecam publik karena kebiasaannya ini.
·         Bertato
Pada sebuah foto di media sosial memperlihatkan Susi yang sedang berpidato. Apa yang menarik dari foto itu adalah tanda anak panah yang menunjuk tepat terarah ke bagian kaki sebelah kanan Susi dengan keterangan tato Ibu Menteri. Tato masih dianggap sebagai hal yang tabu bahkan terlarang oleh masyarakat sehingga orang yang bertato diasumsikan lekat dengan kejahatan, premanisme dan kekerasan lainnya. Pendek kata terlanjur tertanam kuat dalam pikiran dan ingatan masyarakat bahwa tato itu merusak tubuh sebagai ciptaan Tuhan dan mereka yang mentato tubuhnya digeneralisasi sebagai orang berdosa dan jahat. Masih segar dalam ingatan ketika media ramai-ramai memberitakan seorang mantan presenter media televisi terkenal bernama Chantal Dela Concheta yang memiliki tato persis seperti Ibu Susi di kaki sebelah kanannya. Media menyoroti bagian tubuh Chantal yang bertato itu sembari terperangah bagaimana mungkin seorang presenter cantik dan pintar seperti Chantal memiliki tato?
·         Seorang single parent dan menikah sebanyak 2 kali lalu bercerai
“Saya punya anak 3 dan cucu 1. Saya menikah 2 kali dan sekarang single parent,” ucap Susi lantang ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa, 28 Oktober 2014[4]. Seorang pejabat publik yang bercerai memang selalu menjadi sorotan apalagi Susi yang dituduh poliandri. Seorang pejabat publik yang datang dari keluarga utuh, memiliki suami/istri satu dan tidak bercerai merupakan konsep citra ideal bagi seorang pemimpin yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga ketika Susi muncul sebagai seorang ibu single parent, bercerai dari dua suami pula maka menjadi kontroversial karena dipandang melawan konsep citra baku pejabat publik tersebut. Teladan apa yang dapat dicontoh dari seseorang yang menikah sampai dua kali dan bercerai pula itu? Demikian kiranya pandangan negatif yang bermunculan manakala merespon situasi pernikahan menteri Susi. Kita tentu masih ingat bagaimana Prabowo pada waktu pemilu presiden yang lalu dicemooh karena tidak memiliki pendamping karena bercerai. Lalu seolah-olah diisukan rujuk dengan mantan istri untuk menampik isu miring tersebut.
·         Bersuamikan warga negara asing
Suami kedua dan ketiga Susi adalah seorang pria berkewarganegaraan asing. Dari keterangan Daniel Kaiser (suami kedua) yang berkebangsaan Swiss, dia menikah dengan Susi pada tahun 1992. Usia pernikahannya tidak lama karena keduanya memutuskan berpisah pada tahun 1999. Meskipun saat ini Daniel menetap di Swiss namun dia masih berkomunikasi dengan Susi. Ketika Susi dilantik menjadi menteri, Daniel pun terbang dari Swiss khusus datang untuk memberikan ucapan selamat kepada mantan istrinya itu. Masyarakat mempertanyakan hal ini dalam kaitannya dengan rasa nasionalisme Susi. Susi pernah memilih menikah dengan pria asing itu berarti ia punya ikatan dengan orang asing. Sesuatu yang sulit diterima secara umum apalagi ia seorang pejabat publik yang harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat kecil dan terpinggirkan. Ideologi pribumi dan non pribumi memang masih berakar kuat. Tentu kita masih ingat dengan jelas tentang kampanye hitam yang dilakukan oleh media Obor Rakyat terhadap Jokowi menjelang pemilu Mei 2014 yang lalu. Jokowi dikatakan sebagai warga keturunan asing Tiongkok dari Singapura, komunis dan beragama Katolik.



·         Penampilan yang nyentrik dan gaya bicara yang ceplas ceplos
Sebuah foto beredar di media sosial ketika Susi mengadakan kunjungan kerja di Kalimantan Utara pada 30 November 2014 yang lalu. Pada foto itu Susi mengendarai sebuah motor Honda (Megapro) yang dianggap sebagai motor laki-laki dengan memakai celana panjang dan sandal jepit hitam. “Ibu menteri Susi blusukan mengendarai motor laki”[5], begitu bunyi tajuk pemberitaan media-media. Penampilan seperti inilah yang dianggap nyentrik selain kebiasaannya berbicara ceplas-ceplos, to the point dan apa adanya yang tidak begitu banyak berubah meski sudah menjadi menteri. Tidak hanya itu saja, selain menyoroti gaya berbusana Susi yang lari dari kesan feminitas seorang menteri perempuan, media juga menyoroti warna rambutnya yang dicat coklat terang dan bukan hitam sebagai warna asli.
Demikianlah sekilas ulasan mengapa Susi menjadi sedemikian kontroversial di mata masyarakat Indonesia. Seorang pejabat publik yang tidak lulus SMU, bertato dan merokok. Hal yang tidak lazim dan melawan kriteria citra pemimpin di Indonesia. Oleh karena itu maka fenomena Susi sebagai menteri perempuan menjadi ketertarikan penulis untuk mendalaminya memakai teori dekonstruksi Derrida sebagai upaya membongkar citra ideal kepemimpinan Indonesia sekaligus membangun citra baru kepemimpinan di Indonesia yang selanjutnya akan dibahas pada bagian II dan III.
II. Teori Derrida dan Fenomena menteri Susi
II.1. Teori dekonstruksi Derrida
Teori dekonstruksi dipakai disini terhadap fenomena menteri Susi yang penulis pandang sebagai narasi teks kepemimpinan yang berbeda dari konsep kepemimpinan seperti lazimnya dianut sebagian besar masyarakat kita dewasa ini. Teori dekonstruksi dicetuskan oleh seorang filsuf dan ilmuwan terkenal bernama Jaques Derrida[6]. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil pada 15 Juli 1930 dan wafat pada Sabtu, 09 Oktober 2004 di Paris, Prancis. Ia lahir dari keluarga keturunan Yahudi dan seorang diaspora yang lahir di Aljazair. Hidup di negeri poskolonial apalagi negara yang dilanda perang seperti Aljazair menjadi berkah terselubung baginya karena ia dapat melihat bagaimana tangan-tangan kekuasaan kolonial mencengkeram Dunia Ketiga. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis untuk bersekolah dan kembali ke Aljazair pada tahun 1957 untuk menunaikan wajib militernya selama dua tahun dengan mengajar bahasa Prancis dan Inggris kepada anak-anak tentara disana. Sejak 1952, Derrida resmi belajar di Ecole Normal Superiuere (ENS) sebuah sekolah elit yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althuser dan sejumlah filsuf terdepan Prancis. Setelah resmi sarjana, Derrida mengajar di Husserl Archive, tahun 1960 mengajar di Universitas Sorbonne dan kemudian di ENS. Tahun 1966 ia menyampaikan ceramah legendaris di Universitas John Hopkins, bertajuk: “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences”. Setelah itulah Derrida sibuk meladeni panggilan dimana setiap tahun ia menjadi professor tamu di sejumlah universitas terbuka di Amerika Serikat. Pada tahun 1980, ia mempertahankan tesis doktoralnya berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations”. Tahun 1986 ia diangkat menjadi guru besar humaniora di universitas California, Irvine. Disinilah tercatat satu-satunya universitas yang menyimpan karya terlengkap Derrida termasuk yang belum dipublikasikan. Sejak 1986 ia berturut-turut menerima sejumlah gelar doktor kehormatan dari Universitas Cambridge, dll. Terakhir menerima Anugerah Adorno sebuah penghargaan presitius di Jerman pada tahun 2001. Namun sejak didiagnosa mengidap kanker hati maka praktis Derrida mengurangi jadwal acaranya sampai ia wafat tahun 2004.
Derrida terkenal dengan penolakkannya terhadap apa yang ia sebut metafisika kehadiran[7]. Seluruh tradisi pemikiran Barat merupakan pertarungan antara mitos dan logos dalam metafisika kehadiran. Penolakkan Derrida ini bukan saja meniggalkan modernitas tetapi juga membunuh mitos dan logos. Pupularitas Derrida tidak bisa dilepaskan dari teori dekonstruksinya yang masih sulit dipahami bahkan menjadi perdebatan dikalangan akademisi. Namun demikian penulis berupaya sedemikian rupa untuk memakai teori ini dalam membedah fenomena menteri Susi dalam narasi/teks kepemimpinan Indonesia. Lebih lanjut dekonstruksi adalah strategi tekstual yang hanya bisa diterapkan langsung jika kita membaca teks lalu mempermainkannya dalam parodi-parodi. Dekonstruksi bersifat antiteori atau antimetode karena yang menjadi anasir didalamnya adalah permainan (play) dan parodi. Pada titik inilah, narasi fenomena menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU akan diletakkan.
Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk strategi pembongkaran makna terhadap teks. Proses pembacaan dekonstruksi terhadap fenomena sosial tidak memiliki pengandaian, sehingga tidak ada proses makna yang ditangkap seutuhnya. Derrida mempunyai ciri khas tersendiri dalam mengartikan dekonstruksi[8]. Pertama, dekonstruksi bertujuan untuk memahami sebuah teks, dimana bertolak dari makna asal teks itu sendiri. Kedua, pembacaan terhadap teks guna melawan dominasi petanda yang mengikat teks itu sendiri. Kedua ciri tersebut memperlihatkan suatu fenomena memiliki maknanya sendiri-sendiri berdasarkan interpretasi oleh masyarakat atau pelakunya, karena makna tersebut mengalami penundaan dan pembongkaran makna terhadap struktur yang ada. Lebih lanjut Fayyadl mengatakan bahwa istilah “de-konstruksi” lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisa” yang berarti: ‘mengurai’, ‘melepaskan’, dan ‘membuka’. Tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Selanjutnya, dalam sumber yang sama ditegaskan bahwa dekonstruksi Derrida merupakan serangan langsung terhadap gaya berpikir logosentrisme yang biasa dijumpai dalam teks-teks filsafat. Dalam teori kontemporer sering diartikan sebagai pembongkaran, perlucutan, penghancuran, penolakan, dan berbagai istilah dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula. Dekonstruksi memang melakukan pembongkaran, tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke dalam tatanan dan tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan semaksimal maksimalnya. Dalam catatan yang lain menyebutkan dekonstruksi diartikan sebagai usaha untuk memberikan arti pada kelompok yang lemah, yang selama ini kurang memperoleh pengertian, bahkan diabaikan sama sekali. Susi termasuk kelompok yang bukan saja diabaikan tetapi juga tidak diakui atau ditolak kehadirannya akibat mitos kepemimpinan ideal yang dianut masyarakat.
Asumsi Derrida dalam melakukan dekonstruksi teks salah satunya dengan
menggunakan konsep différance yang merupakan salah satu strategi pembacaan teks untuk
memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks[9]. Secara garis besar dengan adanya différance akan membantu mengurai makna teks yang ditemukan dalam sistem pemikiran atau apapun yang berupaya membakukan makna. Kata différance bagi Derrida dikenalkan untuk melihat lebih dari sebuah bahasa lama yang biasa disebut différence (fr), dimana kata tersebut memiliki kesamaan dari kata
difference (en) yang diartikan perbedaan. Konsepsi kata différence (fr) dan différance, jika
dilafalkan dengan suara akan memiliki kesamaan bunyi [defe’rã:s] dalam bahasa Prancis. Kedua kata tersebut tidak terlihat perbedaannya dalam tuturan, namun akan terlihat perbedaan maknanya ketika kedua kata tersebut tertulis. Hal itulah yang membuat munculnya konsep différance dipakai dalam arti yang lebih berbeda, différance dipakai untuk penundaan terhadap makna. Menurut gagasan Derrida mengenai Différance memiliki tiga pengertian, pertama mengenai to differ (en), untuk membedakan sifat dasarnya suatu makna. Dalam kajian ini melihat bahwa fenomena menteri Susi menunjukkan pembedaan episteme yang dibangun terhadap teks citra baku kepemimpinan di masyarakat. Kedua differe (fr), yang merupakan untuk menyebarkan makna tersebut. Fenomena menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak tamat SMU maka makna dari teks tersebut mungkin akan diterima atau ditolak oleh masyarakat. Ketiga to defer (en), merupakan penundaan makna. Pada fenomena menteri Susi ini membuat makna baru bagi citra kepemimpinan di Indonesia. Sehingga makna tentang seorang pemimpin khususnya pemimpin tidak perokok, tidak bertato dan tamat SMU menjadi gugur dengan sendirinya atau hilang. Menurut gagasan Derrida tentang to differ (en) ini melihat bahwa fenomena menteri Susi ini menunjukan pembedaan makna dasar dari teks itu berasal. Maka tulisan ini mencoba memaparkan makna teks yang tidak pernah muncul bahkan berlawanan dimasyarakat secara umum, sehingga makna teks tersebut menjadi hal yang baru. Jika diuraikan konsep difference ini dalam alur sebagai berikut:
teks citra baku kepemimpinan Indonesia à dekonstruksi Derrida dalam teks fenomena menteri Susi (differance)à teks citra baru kepemimpinan Indonesia
ü  The Other
Derrida menulis esai cemerlang tentang Levinas dalam Writing and Difference yang berjudul “Violence and Metaphysics: An Essay on the Thought of Emamanuel Levinas”[10]. Dalam hal ini Derrida menggambarkan bahwa ada kaitan antara metafisika dan kekerasan atau lebih tegas lagi metafisika melakukan kekerasan. Terhadap siapa? The Other. Kekerasan ini terselubung daam bentuk penampikkan atas the other oleh metafisika karena ego. Yang tak berhingga itu adalah orang lain, the other, Yang beda dari saya dan yang bukan saya. Berdasaran teori ini dapat dikatakan bahwa penampikkan terhadap kehadiran menteri Susi melalui metafor menteri Susi Pudjiastuti perokok, bertato dan tidak lulus SMU merupakan sebuah kekerasan yang muncul karena ego manusia mempertahankan citra kepemimpinan yang sehat, bersih dari tato, dan berpendidikan tinggi.




II.2 Citra Baku Kepemimpinan Indonesia
Mengapa berita Menteri Susi perokok, bertato dan tidak lulus SMU bisa muncul? Dibalik pernyataan ini sesungguhnya ada mitologi citra kepemimpinan yang tersembunyi. Citra baku yang dimaksudkan disini adalah citra kepemimpinan yang berfokus pada faktor fisik semata. Ciri-ciri kepemimpinan yang mudah diterima di Indonesia pada umumnya adalah mereka yang secara fisik terlihat kuat, berwibawa, bersih, taat beragama, santun. Tentu kita masih ingat bagaimana masyarakat terpesona dengan pencitraan mantan presiden SBY yang terkesan kuat, berwibawa, gagah dan berpendidikan tinggi. Kebanyakan memilihnya karena dasar pencitraan fisik semata tanpa pertimbangan prestasi dan track recordnya. Jika ada yang diluar dari itu dianggap salah dan tidak pantas. Kita tentu masih ingat bagaimana Jokowi dihina karena dianggap kurus, lemah, dan berwajah ndeso. Jadi sepertinya masyarakat lebih mementingkan pencitraan fisik semata tanpa memusingkan karakter apalagi kinerja dan prestasi. Disamping itu Indonesia masih menjadi negara yang family oriented sehingga keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menjadi patokan yang benar. Tidak heran Susi dipandang negatif karena situasi pernikahannya seolah mengancam tatanan masyarakat yang terpusat pada kekeluargaan yang sangat kental. Lalu apa yang kita dapat dari itu semua? Lupakah kita bagaimana para pejabat yang tampaknya sehat secara fisik dan gagah ternyata tidak lebih daripada koruptor yang menindas rakyat?. Berikut ini uraian bagaimana menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU membongkar citra baku kepemimpinan Indonesia yang mementingkan fisik semata.
II.3 Kepemimpinan menteri Susi sebagai sebuah upaya dekonstruksi?
Siapa yang ingin jadi orang tua tunggal? Siapa yang ingin gagal dalam kehidupan dua kali perkawinan? Mengapa media lebih suka menyoroti kehidupan pribadi saya? Tato saya? Kebiasaan merokok? Saya pernah menikah dengan orang asing? Utang bank? Tahu nggak bahwa aset saya, pesawat-pesawat dan pabrik itu lebih besar nilainya?[11] Demikian sepengggal komentar Susi menanggapi segala cercaan yang dialamatkan kepadanya. Susi bernama lengkap Susi Pudjiastuti lahir pada 15 Januari 1965 di Pangandaran[12]. Ayahnya bernama Haji Ahmad Karlan dan ibunya bernama Hajjah Suwuh Lasminah, keduanya berasal dari Jawa Tengah, namun sudah lima generasi hidup di Pangandaran. Susi terpilih menjadi salah satu menteri di Kabinet Kerja Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang ditetapkan secara resmi pada 26 Oktober 2014. Sebelum dilantik, Susi melepas semua posisinya di perusahaan penerbangan Susi Air dan beberapa posisi lainnya, termasuk Presiden Direktur PT. ASI Pudjiastuti yang bergerak di bidang perikanan serta PT ASI Pudjiastuti Aviation yang bergerak di bidang penerbangan untuk menghindari konflik kepentingan antara dirinya sebagai menteri dan sebagai pemimpin bisnis. Selain itu, alasan lain Susi melepas semua jabatannya adalah agar dapat bekerja maksimal menjalankan pemerintahan, khususnya di bidang kelautan dan perikanan. Berikut ini pembongkaran (dekonstruksi) terhadap citra baku kepemimpinan Indonesia lewat teks menteri Susi perokok, bertato dan tidak lulus SMU:
Ø  Metakognisi Menteri Susi (dekonstruksi status pendidikan)
Hanya tiga kata yang diucapkan Rhenald Kasali untuk menilai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. “Sangat cerdas. Jenius,” kata dia, pada Jumat 5 Desember 2014[13]. Menanggapi berbagai reaksi miring terhadap status pendidikan menteri Susi yang tidak lulus SMU. Menurut Rhenald, penilaian itu dia berikan menggunakan kacamata "metakognisi". "Selama ini orang hanya melihat dari aspek kognisi. Banyak orang kognisinya jago, tapi tidak memiliki metakognisi,” tutur mentor Dian Sastro dan Mooryati Soedibyo itu.
Metakognisi, lanjut Rhenald, adalah kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan[14]. Saat ini, dia menilai, banyak orang mempunyai kecerdasan, tetapi tidak memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya itu. Orang tanpa kemampuan metakognisi, sebut Rhenald, akan gampang mengomel, arogan, serta cenderung meremehkan orang tanpa gelar. Orang-orang yang hanya unggul kognisinya tidak punya kemampuan berelasi dengan orang lain. “Nah, oleh karena itu, perlu orang yang memiliki kecerdasan untuk menggunakan kecerdasan yang dimiliki. Itu harus dibangun dari kecil. Itu dia entrepreneurship. Entrepreneurship itu bukan cari uang, tapi mencari solusi kehidupan terhadap persoalan yang dihadapi,” imbuh Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu. Beberapa waktu lalu, Rhenald pernah mengulas soal metakognisi ini (Baca juga Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Metakognisi Susi Pudjiastuti). Dalam tulisan itu, Rhenald menyebutkan, ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi, yaitu faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausahawan kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Susi memiliki metakognisi ini yang memampukan dia membangun bisnisnya selama 30 tahun tanpa kenal lelah dan menjalin relasi dengan banyak orang mulai dari nelayan di Pangandaran sampai para politisi dan pejabat lainnya. Meski tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, bahasa Inggris Susi cukup bagus. Dia belajar bahasa asing dengan banyak membaca buku. Juga karena harus berkomunikasi dengan mantan suami yang warga negara asing, Daniel Kaiser. Hal ini seolah menegaskan bahwa Susi yang tidak lulus SMU ini ternyata mampu berbahasa Inggris jika memang itu dipandang sebagai syarat utama dalam membangun komunikasi dengan dunia internasional.
Dengan demikian kehadiran Susi mendekontruksi citra ideal kepemimpinan Indonesia bahwa jika setingkat menteri harus memiliki ijazah kalau perlu doktoral dan guru besar di sebuah universitas terkenal. Kecerdasan seseorang tidak diukur dari selembar ijazah dan ilmu pengetahuan tidak hanya ditemukan di sekolah formal. Hal ini mengingat juga banyak pejabat yang tersandung kasus ijasah palsu hanya demi mengejar gelar master atau doktor dibelakang namanya.
Ø  Citra tubuh perempuan (dekonstruksi penampilan sebagai yang perokok, bertato, nyentrik dan bicara yang ceplas ceplos)
Smoke is not good. I’ve tried to quit. But not easy. I will try. But, I’ve asked media not to publish that picture.” Susi sadar bahwa merokok itu tidak baik untuk kesehatan dan panutan bagi publik tetapi menurut penulis bukan itu letak masalahnya. Masalahnya adalah mengapa hanya Susi yang dipersoalkan merokok dan bertato? Bagaimana dengan menteri laki-laki yang lain apakah juga sudah memeriksa mereka merokok dan bertato? Jadi Susi digugat mengapa merokok dan bertato bukan karena soal kesehatan dan keteladanan sebagai pejabat publik tetapi lebih karena ia seorang perempuan. Merokok adalah aktivitas yang wajar dari kaum laki-laki. Hanya laki-laki yang dapat merokok. Tubuh perempuan memang selalu menjadi komoditas publik dan bahkan ia sendiri tidak dapat menggunakan atau menentukan kehendaknya atas tubuhnya sendiri. Seks juga menjadi tema dalam kegiatan politis, dipakai dalam kampanye ideologis tentang moralitas atau penanggungjawaban. Secara umum dalam pengaitan tubuh dengan populasi, seks menjadi sasaran utama bagi kekuasaan yang disusun di sekitar pengelolaan kehidupan daripada kematian[15].
Sehari-hari Susi memang tampil apa adanya. Baju koleksinya yang biasa saja. Bos perusahaan penerbangan yang kini mengoperasikan 49 pesawat itu hanya menggunakan rok santai, kadang celana selutut. Rambut digelung dengan jepitan ke atas. Tanpa riasan[16]. Susi telah mendekonstruksi mitos selama ini bahwa pemimpin perempuan harus tampil cantik dengan riasan dan berpenampilan feminim dengan tutur kata yang dijaga sangat ketat. Susi telah berhasil keluar dari citra baku tersebut.
Ø  Kepemimpinan yang pro rakyat (dekonstruksi nasionalisme)
“Saya menerima jabatan ini bukan karena ingin kaya, apalagi ingin populer[17]. Saya sudah menggeluti bisnis perikanan selama 33 tahun. Mulai dari bawah. Saya tahu apa problemnya, kendalanya, saya pikir, saya bisa do something. Saya menghargai keberanian Pak Jokowi untuk mengangkat orang seperti saya, yang tidak tamat sekolah, untuk menjadi anggota kabinetnya. Saya dan Pak Jokowi ada persamaan karakter. Kami tidak suka hal yang normatif. Kami maunya kerja. Komitmen penuh pada tanggung jawab. Meskipun begitu, bukan berarti saya merasa paling tahu. Kementerian Kelautan dan Perikanan ini besar. Yang diurus banyak. Praktis salah satu core visi Pemerintahan Jokowi soal kemaritiman ada di kementrian ini. Besar tanggung jawabnya. Jadi, saya siap dan selalu mau untuk belajar.” Demikian pernyataan lugasnya. Dapat kita simak pernyataan diatas hendak menegaskan posisi Susi sebagai pembantu presiden Jokowi. Sebagai pimpinan di Kementrian Kelautan dan Perikanan, visi Susi adalah: agar pemerintahan Jokowi bisa menyejahterakan nelayan dan masyarakat yang hidup di pesisir, nelayan laut lepas, nelayan yang bekerja di pembudidayaan. “Kita harus menjadi tuan rumah di laut kita sendiri. Tujuh puluh persen wilayah Indonesia itu laut. Kok ekspor hasil laut kita kalah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia?”. Pemerintahan Jokowi, kata Menteri Susi akan mengubah paradigma konsentrasi pembangunan yang selama ini fokus ke daratan. “Lautan adalah sumberdaya alam yang bisa diperbaharui, renewable. Begitu juga sektor perikanan non laut. Yang juga penting dijaga adalah bagaimana memanen hasil laut, penangkapan ikan, dilakukan secara terukur, tanpa mengeruk habis saat ini. Sustainability dalam membangun ekonomi termasuk di kelautan dan perikanan sangat penting. Menjaga kelestarian lingkungan menjadi upaya simultan,” kata Susi. Susi merasa tak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan para eselon 1, yang sudah ditemuinya dalam dua hari pertama kepemimpinannya. “I don’t feel inferior. Kita diskusinya terbuka. Tidak selalu akademis. Saya merasa eselon 1 menerima saya secara sejajar, we are equal. Ya tentu saya siap belajar. Udah nggak sekolah, masak nggak mau belajar? Tapi saya punya pengalaman nyata. Mereka menghargai itu.” Melihat pernyataan tegas dan komitmen Susi diatas masihkah kita meragukan rasa nasionalismenya?
Ø  “I am a proud single Mom” (dekonstruksi status pernikahan)
Susi bahagia memiliki 3 orang anak dan seorang cucu berumur 8 tahun. Dalam hal asmara, Susi tak ragu bercerita bahwa ia telah menikah sebanyak tiga kali[18]. “Dari tiap suami, saya masing-masing mendapat seorang anak,” katanya. Pernikahan dengan teman sepermainannya pada tahun 1983 tak bertahan lama. Perkawinan itu memberinya Panji Hilmansyah (31 thn), putra sulung, yang kini telah menikah. Pernikahan kedua bersama Daniel Kasier tahun 1992 dan dianugerahi puteri bernama Nadine Pascale Kasier (22 thn) dan pernikahan terakhir bersama Christian von Strowberg dikaruniai anak Alvi Xavier (13 thn). Ia sadar kehidupan pribadinya tidak dapat menjadi panutan tetapi dibalik itu semua ia tetap bangga sebagai seorang ibu. Sampai sekarang ia tetap berkomunikasi secara baik dengan mantan-mantan suaminya.
III. Membangun kembali citra kepemimpinan di Indonesia
Era pemerintahan Jokowi-JK menandai tibanya babak baru kepemimpinan yang demokratis di Indonesia karena mereka lahir dari proses pemilihan langsung ketika masyarakat sudah sejak lama sangat merindukan sosok pemimpin yang berpihak dan mengerti isi hati wong cilik. Jokowi-JK mengusung Nawa Cita sebagai konsep pembangunan Indonesia yang pro-rakyat dan untuk itulah Kabinet Kerja dibentuk untuk merealisasikan apa yang dicita-citakan melalui Nawa Cita. Kabinet ini memiliki semboyan kerja, kerja dan kerja sebuah terobosan yang berupaya keras meruntuhkan wacana selama ini bahwa para pejabat publik hanya menyengsarakan rakyat dengan berfoya-foya menikmati fasilitas negara, menumpuk kekayanan demi kepentingan diri sendiri, korupsi dan parasit. Pada kabinet inilah Susi menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Mari menengok beberapa kebijakan menteri Susi yang perokok, bertato dan tidak lulus SMU ini sebagai sebuah gebrakan dan citra baru kepemimpinan di Indonesia:
v  Hari pertama berkantor di Kementrian Kelautan dan Perikanan
Hari pertama menjadi menteri, Susi melakukan sidak naik turun tangga. Sekarang dia menggunakan celana panjang sebagai busana kerja, menutupi tato di kaki. Tato yang keren sebenarnya. Tapi dia paham, masyarakat masih sulit menerima. Meskipun tato itu sudah ada jauh sebelum Susi menerima jabatan menteri.
v  Susi tak mau dipanggil “Ibu Menteri”.
“Kalau dipanggil Ibu Menteri, saya nggak nengok. Nggak ngeh. Kalau Ibu Susi, pasti nengok,” ujarnya.[19] Media nakal-nakal ya?” Susi melanjutkan, “Mengapa yang dikorek-korek selalu masalah pribadi saya? Tolong disampaikan, media please help me, instead of bullying me. Help me to do my job.” Sebuah kerendahan hati yang sangat langka dimiliki para pejabat publik yang sangat suka mendapat penghormatan atas jabatannya.
v  Saya harap kita bisa bekerja keras siang dan malam untuk membangun kementerian ini dan menyejahterakan nelayan. Siap bekerja siang malam dengan saya?”
Ucapan Susi saat acara serah terima jabatan ini disambut senyum seribuan karyawan yang memenuhi aula Gedung Mina Bahari 3, di belakang kantor Kementrian Kelautan dan Perikanan tersebut.

v  Gebrakan Susi ditandai dengan memajukan jam kerja di lingkungan kementeriannya
Jam kerja pegawai dimajukan dari pukul 08.00 wib menjadi pukul 07.00 wib, sehingga karyawan bisa pulang lebih cepat, pukul 15.00 wib. Alasan Susi, dengan berangkat lebih pagi dan pulang lebih siang, karyawan dapat menghindari kemacetan. Datang ke kantor lebih pagi dalam keadaan segar dan sore hari sudah di rumah untuk punya lebih banyak waktu untuk keluarga. “Semua profesional. Mereka bekerja keras, kerja lari cepat. Saya ingin di KKP juga begitu.”
v  Moratorium perizinan kapal besar awal November 2014
Aksi ilegal fishing yang selama ini dilakukan merugikan negara sebanyak Rp.300 trilyun setiap tahunnya oleh karena itu Susi menerapkan kebijakan moratorium perizinan kapal besar sehingga berdampak positif antara lain nelayan kecil dapat bebas menagkap ikan. Susi mengeluarkan kebijakan menghentikan sementara (moratorium) izin kapal baru dan mengkaji ulang seluruh izin tangkap kapal ikan di atas 30 Gross Ton (GT) selama 6 bulan ke depan. Aturan yang sudah ditandatangani Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia itu melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beberapa instansi lain.
v  Penenggelaman kapal-kapal asing yang berkeliaran menangkap ikan dan hasil laut di perairan Indonesia atas instruksi Jokowi
Dilaporkan Susi bahwa sebanyak 22 kapal dari Tiongkok (07 Desember 2014) telah ditangkap dan 3 kapal dari Vietnam telah ditenggelamkan. Susi memprotes keras kapal-kapal asing milik Tiongkok yang berkeliaran di perairan Indonesia bahkan dengan memakai bendera Indoneisia. Akibat kebijakan ini negara-negara asing mulai ketar-ketir memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin.
v  Susi berencana stop impor garam
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia sebagai penghasil garam malah mengimpor garam dari negara lain. Hal ini tentu saja merugikan petani garam negeri sendiri pasalnya garam lokal tak laku dibanding garam impor. Dalam waktu dekat Susi siap untuk menghentikan impor garam[20]. Untuk memenuhi kebutuhan garam dengan kualitas bagus bagi industri, Susi akan melatih produsen garam lokal agar menghasilkan garam dengan kualitas terbaik.
Tigapuluh tahun lebih bekerja keras mulai dari menjadi pedagang ikan di pasar, jatuh bangun dalam bisnis ikan dan trasportasi udara serta pernikahan yang gagal membuat Susi selalu tampil tegar. Jabatan menteri yang tak pernah ia mimpikan itu menjadi sebuah tantangan baru dalam hidupnya. Kehadirannya memberi warna baru dalam Kabinet Kerja Jokowi dan khususnya kebangkitan kepemimpinan perempuan di Indonesia. “Saya sudah bilang, kalau saya tidak nyaman karena banyak ditekan dan harus melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani, saya akan tinggalkan posisi ini,” kata Susi. Nothing to loose. Dalam Buku Surat dari dan untuk Pemimpin terbitan Tempo Institute, Susi menggambarkan karakter dirinya. “Menjadi orang dengan pikiran merdeka, itulah saya,” katanya. “Saya masuk dunia bisnis yang keras,” katanya kemudian. “Tak bisa tidak, saya harus berpikir merdeka. I can only lead if I have free mind,” katanya lagi.
Oleh karena itu mengapa kita terus mempersoalkan menteri Susi yang perokok, bertato, dan tidak lulus SMU? Sementara masih banyak pejabat yang tidak perokok, tidak bertato dan berpendidikan tinggi tetapi melakukan korupsi, penindasan struktural dan menyengsarakan rakyat? Marilah kita menerima secara terbuka kehadiran menteri Susi dan sebagai masyarakat Indonesia mendukung pemerintahan Jokowi-JK bersama menteri Susi melalui kerja, kerja, dan kerja. Mari kita sambut dengan gembira ketika Susi mengkampanyekan makan ikan terutama untuk anak-anak kita agar sehat dan menghargai hasil kerja nelayan kita.
Matanya berkaca-kaca saat menerima ucapan selamat dari pejabat, relasi dan kawan yang hadir kemarin. Perlahan air matanya makin deras mengalir. Dia memeluk erat satu persatu, termasuk mantan suaminya, Daniel Kaiser. “Kalian semua hebat, terima kasih selama ini sudah mendukung saya,” bisiknya sambil mengusap air mata dengan ujung selendang”[21]. Selamat berjuang melayani masyarakat Indonesia ya Ibu menteri, doa kami menyertaimu selama 5 tahun kedepan sampai selesai menunaikan tugasmu mensejahterakan masyarakat Indonesia khususnya nelayan yang selama ini miskin dan terbuang di negerinya sendiri.
IV.   Kesimpulan
Setelah menguraikan fenomena menteri Susi sebagai sebuah upaya dekonstruksi citra kepemimpinan di Indonesia diatas, maka tulisan ini akhirnya tiba pada beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
a.    Masyarakat Indonesia masih hidup dalam mitologi kepemimpinan yang lebih menekankan kepada fisik yang kelihatan baik seperti berpendidikan tinggi, bersih, memiliki keluarga utuh, sehat jasmani, dan mementingkan penampilan yang rapi itulah yang paling sah dan benar.
b.    Kepemimpinan perempuan selalu dipersoalkan dan bias gender
c.    Fenomena menteri Susi sebagai upaya mendekonstruksi citra kepemimpinan Indonesia yang kaku dan patriakhis sehingga menimbulkan citra baru kepemimpinan Indonesia yang lepas dari bayang-bayang metafisika.
d.      Kepemimpinan Susi meski baru beberapa bulan sudah memberikan bukti yang signifikan bahwa ia pro rakyat khususnya wong cilik. Ini membuktikan rasa nasionalisme Susi yang dipersoalkan patah dengan sendirinya hanya karena ia pernah menikah dan memiliki anak dari pria berkewarganegaraan asing.




Sumber Rujukan
Buku:
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, Yogyakarta: LKis, 2006
Hardiman, F. Budi, Melampaui Positifisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003
Noris, Christian dalam David Wood ed), Derrida: A Critical Reader, USA: Blackwell Publisher Inc, 1992
Artikel dan berita online:
Berita Okezone.com pada Senin, 27 Oktober 2014 - 11:22 wib, oleh Fahmi Firdaus-Okezone, akses tanggal 09 Desember 2014
http://www.femina.co.id/waktu.senggang/selebritas/jodoh.ketiga.susi.pudjiastuti/006/002/1112
http://www.merdeka.com/peristiwa/beredar-foto-menteri-susi-blusukan-naik-motor-laki.html
Kasali, Rhenald, Tiga Kata Rhenald Kasali Untuk Susi Pudjiastuti, Kompas online akses tanggal 9 Desember 2014
Lubis, Uni, Kontroversi Ibu Menteri Susi Pudjiastuti, dalam 100 Hari Jokowi JK, Ekonomi dan Bisnis, Inspirasi, Leadership, Politik, 30 Oktober 2014, Uni Lubis.com, akses tanggal 09 desember 2014
Wikipedia Indonesia, Menteri Susi Pudjiastuti, akses tanggal 30 November 2014




[1]http://news.detik.com/read/2014/10/27/154141/2730857/10/5/5-fakta-unik-tentang-para-menteri-perempuan-jokowi#bigpic
[2]Firdaus, Berita Okezone.com pada Senin, 27 Oktober 2014 - 11:22 wib

[3]Uni Lubis, Kontroversi Menteri Susi Pudjiastuti dalam 100 Hari Jokowi JK, Ekonomi dan Bisnis, Inspirasi, Leadership, Politik, 30 Oktober 2014, laman Uni Lubis.com
[4]ibid
[6]Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, (Yogyakarta:LKis, 2006), hal 2
[7]F. Budi Hardiman, Melampui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), ha183
[8]Al-Fayyadl, ibid, hal 16-17
[9]Ibid, hal 111
[10]ibid, hal 146-147
[11]Lubis, ibid, hal 1
[12]Biografi selengkapnya dapat disimak dalam Menteri Susi Pudjiastuti di situs Wikipedia Indonesia, akses pada 30 November 2014
[13]Rhenald Kasali, dalam Tiga Kata Rhenald Kasali Untuk Susi Pudjiastuti, Kompas online akses tanggal 9 Desember 2014
[14]Ibid, Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu", menurut Rhenald, adalah fondasi penting bagi pembaruan dan kehidupan yang produktif.  “Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif,” simpul Rhenald.
[15]Michel Foucault, Sejarah Seksualitas dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia, 1997
[16]Uni Lubis
[17]ibid
[18]http://www.femina.co.id/waktu.senggang/selebritas/jodoh.ketiga.susi.pudjiastuti/006/002/1112
[19]ibid
[20]http://bisnis.liputan6.com/read/2143370/menteri-susi-siap-stop-impor-garam
[21]Lubis, ibid