Bahan PA FTh UKDW, Selasa, 17
Maret 2015
Terus-menerus
Diperbaharui di dalam Kristus
(Bacaan:
Ibrani 09: 1-10)
Pendahuluan
Ibrani pasal 9:1-10
merupakan salah satu upaya berkelanjutan penulis untuk memberi pencerahan serta
penguatan kepada jemaat Ibrani sebagai penerima surat, yaitu mereka yang sedang
bergumul dalam krisis kepercayaan serta kegamangan akan identitas mereka
sebagai orang Kristen yang mula-mula berasal dari komunitas Yahudi, di tengah-tengah
tekanan terhadap kepercayaan mereka kepada Kristus. Menghadapi realita ini maka
penulis berupaya untuk memberi pemahaman akan siapa mereka sesungguhnya dan
arti kehadiran Kristus dalam kehidupan mereka. Upaya ini penulis tempuh seperti
apa yang dijelaskan oleh Thomas G. Long (1997: 93-97) yaitu dengan mengantarkan
jemaat kepada semacam studi tour rohani.
Studi tour rohani ini kembali membawa jemaat kepada dua hal terpenting dalam
tradisi Israel sewaktu masih berada di padang gurun, yaitu kemah suci (9:1-5)
dan prosesi persembahan korban oleh para imam (9:6-10). Upaya ini sendiri sebenarnya
untuk memberi semacam pengertian bahwa kemah suci dan persembanan korban
tersebut adalah buatan tangan manusia dan tidak dapat memberi jalan kepada
tempat yang kudus (9:8). Menurut Gench (1996: 9) penulis juga sebenarnya ingin
menunjukkan keunggulan Kristen terhadap Yahudi sehingga ia mengadakan
perbandingan yang sangat konstan antara keduanya. Superior atau lebih baik
merupakan kunci dari argumentasi: bahwa Kristus sebagai Anak Allah lebih baik
daripada malaikat 1:5-14), daripada Musa (3:1-6), daripada Harun (5:1-10), dan
imam-imam Lewi (7:1-28). PengorbananNya lebih baik daripada pengorbanan para
imam (9:1-14), dan perjanjian yang Ia proklamirkan lebih baik daripada yang pertama
(8:7-13, 9:15-22, 12:24). Untuk melihat lebih jauh studi tour ala Thomas G.
Long di atas, maka dapat dikemukakan penjelasannya berikut ini:
Kemah suci (Tabernakel) yang lama (ayat 1-5). Pada bagian pertama
ini penulis menggambarkan struktur Tabernakel mula-mula di padang gurun dalam
Perjanjian Pertama. Meskipun tidak terlalu tepat, penulis mengikuti design dan
penyediaan yang ada dalam Keluaran 25-40 mengenai tempat itu. Penulis bahkan
menunjukkan di ruangan mana yang tidak dapat dimasuki jemaat, yaitu Ruang Maha
Kudus. Tabernakel mula-mula adalah sebuah kemah yang terbagi menjadi dua bilik,
dan penulis memulai studi tournya dengan menyingkap tirai dan mengundang kita
untuk mengintip apa saja yang ada di dalam bilik pertama. Kita dapat melihat
kaki dian (Kel 25:31-39), dan meja dengan roti sajian (Kel 25:23-30). Kemudian
studi tour ini diberi jeda sejenak dengan pernyataan, “kita sedang berada di
tempat kudus” (9:2). Tetapi ada sebuah tempat yang lebih kudus, bilik kedua
yang disebut Ruang Maha Kudus, di mana hanya imam besar yang dapat pergi ke situ.
Tiba-tiba penulis begitu berhasrat dan memanggil-manggil kita untuk melihat ke dalam
bagian terdalam yang misterius dan tersembunyi. Segera saja mata kita terpesona
dengan emas. Di situ ada mezbah pembakaran ukupan dari emas, tabut perjanjian
yang disalut dengan emas. Di dalam tabut itu terdapat buli-buli emas (Kel 16:
33-34), tongkat Harun (Bil 17:1-11) dan dua loh batu perjanjian (1 Raj 8:9). Di
atasnya terdapat dua kerubim yang menaungi tutup pendamaian (Kel 25:17-21). Singkatnya
emas di mana-mana. Tetapi kemudian penulis menutup tirai dan mengatakan bahwa
studi tour telah berakhir dengan berkata, “Tetapi hal ini tidak dapat kita
bicarakan secara terperinci” (9:5). Mengapa penulis membuat kita penasaran? Ia
ingin mengatakan bahwa betatapun menariknya tempat itu bukanlah point utama
tetapi apa yang terjadi terhadap Tabernakel mula-mula dengan kehadiran dan
pelayanan Yesus Kristus sebagai Imam Besar (9:11-14).
Aktivitas Imam yang Lama (ayat 6-10). Setelah memberi tour singkat
tentang Tabernakel, penulis kemudian menyajikan sekilas aktivitas yang
dilakukan di dalam dua bilik penyucian. Kita menyaksikan aktivitas rutin
sehari-hari, urut-urutan imam yang sibuk di dalam bilik pertama, pada kemah
terluar, melakukan ritual peribadahan: mengisi lampu dengan minyak, menyegarkan
roti sajian, melakukan persembahan korban harian (9:6). Kemudian kita
menyaksikan situasi di sekitar Tabernakel yang tidak seperti pada hari-hari
biasa tetapi pada sebuah hari istimewa, Hari Penebusan (lih Imamat 16:33). Pada
sepanjang satu hari itu setiap tahunnya imam besar pergi melampaui kemah
terluar menuju kemah kedua yang terdalam, yaitu Ruang Maha Kudus, dilakukan
olehnya sendiri, mempersembahkan korban untuk dosanya dan dosa umatnya, yaitu melalui
darah binatang (9:7). Di samping itu menurut Barclay (1976: 98) Hari Penebusan
jatuh pada hari kesepuluh setelah Tahun Baru Yahudi atau pada permulaan bulan
September. Ini adalah sebuah hari yang paling istimewa bagi seorang imam besar.
Istimewa karena dalam sekali setahun hanya dialah yang dapat masuk ruangan itu
berjumpa dengan Allah. Jadi melalui rutinitas yang teratur tersebut
memperlihatkan Tabernakel sebagai pusat ritual peribadahan dan pada Hari
Penebusan hanya ada seseorang yang dapat memasuki Ruang Maha Kudus. Mengapa
penulis capek-capek menjelaskan hal ini? Ia melakukannya karena mengklaim
menerima penyataan Roh Kudus untuk itu semua (9:8). Hal ini tidak hanya sekadar
sebuah pelajaran sejarah tetapi simbol atau kiasan tentang kekinian (9:9).
Penulis
surat ini sendiri sadar bahwa jemaat Ibrani seperti jemaat pada umumnya, merasa
terbebani dengan upaya keras iman Kristiani mereka tetapi akhirnya mencegah
masuknya sukacita dan pendamaian. Seperti kerinduan manusia pada umumnya,
jemaat sesungguhnya membutuhkan perjumpaan dengan Allah yang hidup, mereka
ingin mencapai ruang kudus itu untuk mendapatkan akses kepada anugerah dan
pengampunan, tetapi ironisnya ritual peribadahan menutup jalan itu. Jika mereka
terbatas pada kemah terluar di Tabernakel mula-mula, dan sistem ritual yang
lama mengkontrol pengalaman peribadahan mereka, mereka hidup dimana perjanjian
pertama masih cukup kuat pengaruhnya. Mereka akan setia dan mencurahkan banyak energi
untuk mematuhi peraturan religius. Mereka tidak akan pernah mencapai apa yang
mereka butuhkan. Mereka akan berada dalam kematian dalam pertemuan di luar
kemah, sementara Allah yang hidup berada di dalam. Inilah yang ingin ditekankan
oleh penulis. Jemaat ingin berjumpa dengan Allah tetapi yang mereka dapat malah
informasi tentang Allah, jemaat haus akan Allah tetapi mereka diperlengkapi
dengan aturan, prosedur dan persiapan-persiapan. Terlalu banyak perjuangan dan
kerja keras, tetapi sangat sedikit menjumpai Sabat. Penulis melihat keadaan
buruk itulah yang ada dalam Tabernakel mula-mula, imam-imam lama, perjanjian
pertama. Fakta ini adalah simbol kekinian yang dinyatakan Roh Kudus kepada
penulis. Akhirnya penulis menutup bagian ini dengan sebuah kesimpulan bahwa
semuanya itu hanyalah peraturan untuk hidup insani yang hanya berlaku sampai
tiba waktu pembaharuan (9:10). Pembaharuan sesungguhnya telah hadir melalui
Kristus dan dijelaskan penulis selanjutnya pada pasal 9: 11-28. Ada berita
sukacita yang dibawa oleh Injil kepada jemaat yaitu bahwa mereka memiliki Kristus
sebagai Imam Besar, yang telah melintasi kemah yang lebih besar dan yang lebih
sempurna, dan bukan dibuat oleh tangan manusia, dan Ia telah masuk ke dalam
tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu,
tetapi dengan darahNya sendiri (9:11-12). Kristus menjadikan diriNya sebagai
pusat peribadahan jemaat untuk memperbaharui perjanjian dan relasi perjumpaan antara
Allah dan ciptaanNya.
Diperbaharui
untuk terus-menerus diperbaharui
Gereja semestinya menyadari bahwa ia
senantiasa menghadapi perubahan dan tantangan pada setiap zaman. Menyikapi
perubahan dan tantangan zaman maka gereja acapkali diperhadapkan pada sikap
untuk dapat terbuka pada pembaharuan. Pembaharuan ini didasarkan pada semboyan reformasi yaitu ecclesia reformata, ecclesia semper
reformanda, yang berarti "Gereja
yang telah direformasi adalah Gereja yang (harus) terus-menerus
diperbarui." Namun gereja sekarang ini sudah terlalu nyaman di
zonanya sendiri dan enggan untuk memperbaharui dirinya. Kalaupuan memperbaharui
diri bisa dilihat pada apa yang sedang digandrungi gereja. Sayang sekali gereja
kegandrungannya justru bertumpu pada pementingan ritual-seremonial-formalistik belaka dan bukan pada pembaharuan di dalam
Kristus. Ketika menyambut masa Pra Paskah Minggu kelima ini tampaknya gereja
lebih banyak sibuk terpaku pada semangat dekorasi fisik semata dan mengabaikan
semangat pembaharuan untuk dekorasi iman. Rame-rame mendekor rumah dan gereja
tetapi abai mendekor iman keluarga dan komunitas. Melihat hiruk pikuk itu
mengapa gereja tidak berhenti sejenak dan beri jeda pada diri sendiri untuk mengalami
pembaharuan dalam Kristus. Mengalami kehadiran Kristus seperti kerinduan dan
kebutuhan jemaat Ibrani. Bagaimana gereja dapat memberitakan Injil jika ia
sendiri tidak mengalami kehadiran dan pembaharuan dalam Kristus.
Jika
kemudian kita mencermati kondisi faktual Indonesia belakangan ini maka kita
akan diperhadapkan pada krisis yang ditandai dengan melemahnya Rupiah terhadap
US Dollar yang jatuh pada titik terendah yaitu Rp.13.200 per 1 US Dollar,
melonjaknya harga beras, serta kenaikkan BBM. Belum lagi adanya kisruh politik
yang menimbulkan suasana serba ketidakpastian. Semuanya menimbulkan
kesengsaraan yang paling nyata dialami masyarakat kecil. Pada suasana krisis
dan ketidakpastian inilah maka pembaharuan dalam Kristus dapat memberi
pengharapan dan pemulihan. Melalui pengorbananNya di kayu salib, Kristus telah
membuka jalan dan memperbaharui relasi yang rusak antara manusia dengan Allah,
manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan sesama ciptaan. Oleh karena itu saya
ingin mengajak kita menyelami pembaharuan dalam Kristus ini pada apa yang
sedang didengung-dengungkan oleh PGI, yaitu spiritualitas
keugaharian. Dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama tahun 2014-2019
PGI menekankan spiritualitas keugaharian, yakni hidup secukupnya sambil terus
berbagi dengan sesama. Ini merupakan sikap alternatif gereja terhadap pola
hidup tamak yang kini merasuk manusia modern untuk berlomba-lomba menumpuk
kekayaan pribadi tanpa peduli terhadap sesama. Kerakusan manusia nyata dalam
eksplorasi berlebihan sumber daya alam dan berdampak pada perusakan alam:
tanah, hutan, air, dan udara. Meresponi hal itu mungkin kita dapat menerapkannya
pada apa yang disebut sebagai frugal
living sebagai sebuah lifestyle alternatif. Frugal living yaitu pola hidup
sederhana, hemat, serta pengaturan maksimal untuk mengendalikan kebutuhan baik
terhadap materi maupun waktu. Tumbuh dalam kebijaksanaan untuk menggunakan
sumber daya alam bahkan waktu dengan sebuah kesadaran akan adanya keterbatasan.
Dengan penerapan pola hidup frugal ini maka akan mencegah kita dari sikap hidup
yang hiper konsumtif, loba/tamak dan boros. Sehingga beban hidup kita yang kita
tumpukkan kepada alam semesta perlahan-lahan akan beringsut menyusut, mungkin
saja akhirnya dapat berada pada titik keseimbangan. Sehingga kita tidak
memiliki utang peradaban kepada anak cucu kelak di kemudian hari.
Penutup
Berikut ini beberapa pertanyaan
untuk didiskusikan lebih lanjut:
1.
Seberapa urgensikah kebutuhan akan adanya semangat
pembaharuan dalam Kristus itu, baik dalam lingkup bermasyarakat, bergereja,
berkampus maupun pribadi?
2.
Sejauh mana spiritualitas keugaharian itu dapat
memperbaharui hidup bahkan berteologi kita di FTh UKDW sekarang ini?
Bahan
Bacaan:
Barclay, W., The
Letter to The Hebrews, Louisville: John Knox Press, 1976
Gench, F.T., Hebrew
and James, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press: 1996
Lung, T.G., Hebrew:
Interpretation, a Bible Commentary for Teaching and Preaching, Louisville:
John Knox Press, 1997
Latipi
318 Seturan, Selfitriani Kulla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar