Jumat, 27 Maret 2015

Terus-menerus Diperbaharui di dalam Kristus

Bahan PA FTh UKDW, Selasa, 17 Maret 2015
Terus-menerus Diperbaharui di dalam Kristus
(Bacaan: Ibrani 09: 1-10)

Pendahuluan
Ibrani pasal 9:1-10 merupakan salah satu upaya berkelanjutan penulis untuk memberi pencerahan serta penguatan kepada jemaat Ibrani sebagai penerima surat, yaitu mereka yang sedang bergumul dalam krisis kepercayaan serta kegamangan akan identitas mereka sebagai orang Kristen yang mula-mula berasal dari komunitas Yahudi, di tengah-tengah tekanan terhadap kepercayaan mereka kepada Kristus. Menghadapi realita ini maka penulis berupaya untuk memberi pemahaman akan siapa mereka sesungguhnya dan arti kehadiran Kristus dalam kehidupan mereka. Upaya ini penulis tempuh seperti apa yang dijelaskan oleh Thomas G. Long (1997: 93-97) yaitu dengan mengantarkan jemaat kepada semacam studi tour rohani. Studi tour rohani ini kembali membawa jemaat kepada dua hal terpenting dalam tradisi Israel sewaktu masih berada di padang gurun, yaitu kemah suci (9:1-5) dan prosesi persembahan korban oleh para imam (9:6-10). Upaya ini sendiri sebenarnya untuk memberi semacam pengertian bahwa kemah suci dan persembanan korban tersebut adalah buatan tangan manusia dan tidak dapat memberi jalan kepada tempat yang kudus (9:8). Menurut Gench (1996: 9) penulis juga sebenarnya ingin menunjukkan keunggulan Kristen terhadap Yahudi sehingga ia mengadakan perbandingan yang sangat konstan antara keduanya. Superior atau lebih baik merupakan kunci dari argumentasi: bahwa Kristus sebagai Anak Allah lebih baik daripada malaikat 1:5-14), daripada Musa (3:1-6), daripada Harun (5:1-10), dan imam-imam Lewi (7:1-28). PengorbananNya lebih baik daripada pengorbanan para imam (9:1-14), dan perjanjian yang Ia proklamirkan lebih baik daripada yang pertama (8:7-13, 9:15-22, 12:24). Untuk melihat lebih jauh studi tour ala Thomas G. Long di atas, maka dapat dikemukakan penjelasannya berikut ini:
Kemah suci (Tabernakel) yang lama (ayat 1-5). Pada bagian pertama ini penulis menggambarkan struktur Tabernakel mula-mula di padang gurun dalam Perjanjian Pertama. Meskipun tidak terlalu tepat, penulis mengikuti design dan penyediaan yang ada dalam Keluaran 25-40 mengenai tempat itu. Penulis bahkan menunjukkan di ruangan mana yang tidak dapat dimasuki jemaat, yaitu Ruang Maha Kudus. Tabernakel mula-mula adalah sebuah kemah yang terbagi menjadi dua bilik, dan penulis memulai studi tournya dengan menyingkap tirai dan mengundang kita untuk mengintip apa saja yang ada di dalam bilik pertama. Kita dapat melihat kaki dian (Kel 25:31-39), dan meja dengan roti sajian (Kel 25:23-30). Kemudian studi tour ini diberi jeda sejenak dengan pernyataan, “kita sedang berada di tempat kudus” (9:2). Tetapi ada sebuah tempat yang lebih kudus, bilik kedua yang disebut Ruang Maha Kudus, di mana hanya imam besar yang dapat pergi ke situ. Tiba-tiba penulis begitu berhasrat dan memanggil-manggil kita untuk melihat ke dalam bagian terdalam yang misterius dan tersembunyi. Segera saja mata kita terpesona dengan emas. Di situ ada mezbah pembakaran ukupan dari emas, tabut perjanjian yang disalut dengan emas. Di dalam tabut itu terdapat buli-buli emas (Kel 16: 33-34), tongkat Harun (Bil 17:1-11) dan dua loh batu perjanjian (1 Raj 8:9). Di atasnya terdapat dua kerubim yang menaungi tutup pendamaian (Kel 25:17-21). Singkatnya emas di mana-mana. Tetapi kemudian penulis menutup tirai dan mengatakan bahwa studi tour telah berakhir dengan berkata, “Tetapi hal ini tidak dapat kita bicarakan secara terperinci” (9:5). Mengapa penulis membuat kita penasaran? Ia ingin mengatakan bahwa betatapun menariknya tempat itu bukanlah point utama tetapi apa yang terjadi terhadap Tabernakel mula-mula dengan kehadiran dan pelayanan Yesus Kristus sebagai Imam Besar (9:11-14).
Aktivitas Imam yang Lama (ayat 6-10). Setelah memberi tour singkat tentang Tabernakel, penulis kemudian menyajikan sekilas aktivitas yang dilakukan di dalam dua bilik penyucian. Kita menyaksikan aktivitas rutin sehari-hari, urut-urutan imam yang sibuk di dalam bilik pertama, pada kemah terluar, melakukan ritual peribadahan: mengisi lampu dengan minyak, menyegarkan roti sajian, melakukan persembahan korban harian (9:6). Kemudian kita menyaksikan situasi di sekitar Tabernakel yang tidak seperti pada hari-hari biasa tetapi pada sebuah hari istimewa, Hari Penebusan (lih Imamat 16:33). Pada sepanjang satu hari itu setiap tahunnya imam besar pergi melampaui kemah terluar menuju kemah kedua yang terdalam, yaitu Ruang Maha Kudus, dilakukan olehnya sendiri, mempersembahkan korban untuk dosanya dan dosa umatnya, yaitu melalui darah binatang (9:7). Di samping itu menurut Barclay (1976: 98) Hari Penebusan jatuh pada hari kesepuluh setelah Tahun Baru Yahudi atau pada permulaan bulan September. Ini adalah sebuah hari yang paling istimewa bagi seorang imam besar. Istimewa karena dalam sekali setahun hanya dialah yang dapat masuk ruangan itu berjumpa dengan Allah. Jadi melalui rutinitas yang teratur tersebut memperlihatkan Tabernakel sebagai pusat ritual peribadahan dan pada Hari Penebusan hanya ada seseorang yang dapat memasuki Ruang Maha Kudus. Mengapa penulis capek-capek menjelaskan hal ini? Ia melakukannya karena mengklaim menerima penyataan Roh Kudus untuk itu semua (9:8). Hal ini tidak hanya sekadar sebuah pelajaran sejarah tetapi simbol atau kiasan tentang kekinian (9:9).
Penulis surat ini sendiri sadar bahwa jemaat Ibrani seperti jemaat pada umumnya, merasa terbebani dengan upaya keras iman Kristiani mereka tetapi akhirnya mencegah masuknya sukacita dan pendamaian. Seperti kerinduan manusia pada umumnya, jemaat sesungguhnya membutuhkan perjumpaan dengan Allah yang hidup, mereka ingin mencapai ruang kudus itu untuk mendapatkan akses kepada anugerah dan pengampunan, tetapi ironisnya ritual peribadahan menutup jalan itu. Jika mereka terbatas pada kemah terluar di Tabernakel mula-mula, dan sistem ritual yang lama mengkontrol pengalaman peribadahan mereka, mereka hidup dimana perjanjian pertama masih cukup kuat pengaruhnya. Mereka akan setia dan mencurahkan banyak energi untuk mematuhi peraturan religius. Mereka tidak akan pernah mencapai apa yang mereka butuhkan. Mereka akan berada dalam kematian dalam pertemuan di luar kemah, sementara Allah yang hidup berada di dalam. Inilah yang ingin ditekankan oleh penulis. Jemaat ingin berjumpa dengan Allah tetapi yang mereka dapat malah informasi tentang Allah, jemaat haus akan Allah tetapi mereka diperlengkapi dengan aturan, prosedur dan persiapan-persiapan. Terlalu banyak perjuangan dan kerja keras, tetapi sangat sedikit menjumpai Sabat. Penulis melihat keadaan buruk itulah yang ada dalam Tabernakel mula-mula, imam-imam lama, perjanjian pertama. Fakta ini adalah simbol kekinian yang dinyatakan Roh Kudus kepada penulis. Akhirnya penulis menutup bagian ini dengan sebuah kesimpulan bahwa semuanya itu hanyalah peraturan untuk hidup insani yang hanya berlaku sampai tiba waktu pembaharuan (9:10). Pembaharuan sesungguhnya telah hadir melalui Kristus dan dijelaskan penulis selanjutnya pada pasal 9: 11-28. Ada berita sukacita yang dibawa oleh Injil kepada jemaat yaitu bahwa mereka memiliki Kristus sebagai Imam Besar, yang telah melintasi kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna, dan bukan dibuat oleh tangan manusia, dan Ia telah masuk ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan darahNya sendiri (9:11-12). Kristus menjadikan diriNya sebagai pusat peribadahan jemaat untuk memperbaharui perjanjian dan relasi perjumpaan antara Allah dan ciptaanNya.

Diperbaharui untuk terus-menerus diperbaharui
Gereja semestinya menyadari bahwa ia senantiasa menghadapi perubahan dan tantangan pada setiap zaman. Menyikapi perubahan dan tantangan zaman maka gereja acapkali diperhadapkan pada sikap untuk dapat terbuka pada pembaharuan. Pembaharuan ini didasarkan pada semboyan reformasi yaitu ecclesia reformata, ecclesia semper reformanda, yang berarti "Gereja yang telah direformasi adalah Gereja yang (harus) terus-menerus diperbarui." Namun gereja sekarang ini sudah terlalu nyaman di zonanya sendiri dan enggan untuk memperbaharui dirinya. Kalaupuan memperbaharui diri bisa dilihat pada apa yang sedang digandrungi gereja. Sayang sekali gereja kegandrungannya justru bertumpu pada pementingan ritual-seremonial-formalistik belaka dan bukan pada pembaharuan di dalam Kristus. Ketika menyambut masa Pra Paskah Minggu kelima ini tampaknya gereja lebih banyak sibuk terpaku pada semangat dekorasi fisik semata dan mengabaikan semangat pembaharuan untuk dekorasi iman. Rame-rame mendekor rumah dan gereja tetapi abai mendekor iman keluarga dan komunitas. Melihat hiruk pikuk itu mengapa gereja tidak berhenti sejenak dan beri jeda pada diri sendiri untuk mengalami pembaharuan dalam Kristus. Mengalami kehadiran Kristus seperti kerinduan dan kebutuhan jemaat Ibrani. Bagaimana gereja dapat memberitakan Injil jika ia sendiri tidak mengalami kehadiran dan pembaharuan dalam Kristus.
Jika kemudian kita mencermati kondisi faktual Indonesia belakangan ini maka kita akan diperhadapkan pada krisis yang ditandai dengan melemahnya Rupiah terhadap US Dollar yang jatuh pada titik terendah yaitu Rp.13.200 per 1 US Dollar, melonjaknya harga beras, serta kenaikkan BBM. Belum lagi adanya kisruh politik yang menimbulkan suasana serba ketidakpastian. Semuanya menimbulkan kesengsaraan yang paling nyata dialami masyarakat kecil. Pada suasana krisis dan ketidakpastian inilah maka pembaharuan dalam Kristus dapat memberi pengharapan dan pemulihan. Melalui pengorbananNya di kayu salib, Kristus telah membuka jalan dan memperbaharui relasi yang rusak antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan sesama ciptaan. Oleh karena itu saya ingin mengajak kita menyelami pembaharuan dalam Kristus ini pada apa yang sedang didengung-dengungkan oleh PGI, yaitu spiritualitas keugaharian. Dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama tahun 2014-2019 PGI menekankan spiritualitas keugaharian, yakni hidup secukupnya sambil terus berbagi dengan sesama. Ini merupakan sikap alternatif gereja terhadap pola hidup tamak yang kini merasuk manusia modern untuk berlomba-lomba menumpuk kekayaan pribadi tanpa peduli terhadap sesama. Kerakusan manusia nyata dalam eksplorasi berlebihan sumber daya alam dan berdampak pada perusakan alam: tanah, hutan, air, dan udara. Meresponi hal itu mungkin kita dapat menerapkannya pada apa yang disebut sebagai frugal living sebagai sebuah lifestyle alternatif. Frugal living yaitu pola hidup sederhana, hemat, serta pengaturan maksimal untuk mengendalikan kebutuhan baik terhadap materi maupun waktu. Tumbuh dalam kebijaksanaan untuk menggunakan sumber daya alam bahkan waktu dengan sebuah kesadaran akan adanya keterbatasan. Dengan penerapan pola hidup frugal ini maka akan mencegah kita dari sikap hidup yang hiper konsumtif, loba/tamak dan boros. Sehingga beban hidup kita yang kita tumpukkan kepada alam semesta perlahan-lahan akan beringsut menyusut, mungkin saja akhirnya dapat berada pada titik keseimbangan. Sehingga kita tidak memiliki utang peradaban kepada anak cucu kelak di kemudian hari.

Penutup
Berikut ini beberapa pertanyaan untuk didiskusikan lebih lanjut:
1.      Seberapa urgensikah kebutuhan akan adanya semangat pembaharuan dalam Kristus itu, baik dalam lingkup bermasyarakat, bergereja, berkampus maupun pribadi?
2.      Sejauh mana spiritualitas keugaharian itu dapat memperbaharui hidup bahkan berteologi kita di FTh UKDW sekarang ini?

Bahan Bacaan:
Barclay, W., The Letter to The Hebrews, Louisville: John Knox Press, 1976
Gench, F.T., Hebrew and James, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press: 1996
Lung, T.G., Hebrew: Interpretation, a Bible Commentary for Teaching and Preaching, Louisville: John Knox Press, 1997  


Latipi 318 Seturan, Selfitriani Kulla

Tidak ada komentar:

Posting Komentar